Jumat, 25 Februari 2011

Memahami Ambient Condition dan Architectural Features

Memahami Ambient Condition dan Architectural Features

Sebelumnya akan dibahas mengenai arti dari Ambient Condition dan Architectural Features. Ambient Condition adalah kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya atau penerangan, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban. Sedangkan Architectural features mencakup setting-setting yang bersifat permanen. Misalnya dekorasi suatu ruangan, seperti konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot. Dalam suatu gedung architectural  features meliputi lay out tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta misalnya tempat parkir yang sempit menimbulkan kejengkelan dari para tenaga kerja yang memiliki kendaraan dan para tamu perusahaan, yang dibawa kedalam pekerjaannya sehingga dapat merugikan perusahaan.
Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga. Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat tentang pengaruh dari kantor yang dirancang seperti pemandangan alam. Kantornya terdiri dari ruangan yang sangat luas. Tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan ke dalam kamar-kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan ke dalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon pendek dan tanaman, kasa jendela yang rendah, lemari-lemari pendek, rak-rak buku. Kantor-kantor ‘pemandangan alam’ ini dikatakan melancarkan komunikasi dan alur kerja. Di samping itu, keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerja sama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara manajemen dan karyawan.
Ada juga factor lain yang mempengaruhi pekerjaan, yaitu pencahayaan. Pencahayaan termasuk ke dalam ambient condition. Untuk pekerjaan tertentu diperlukan kadar cahaya tertentu sebagai penerangan. Pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kejelian mata, seperti memperbaiki jam tangan, perakitan elektronika, menuntut kadar cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu memerlukan penglihatan yang tajam.
Factor lain dari pencahayaan ialah distribusi dari cahaya dalam kamar atau daerah kerja. Pengaturan yang ideal adalah jika cahaya dapat didistribusikan secara merata pada keseluruhan lapangan visual. Memberikan cahaya penerangan pada suatu daerah kerja yang lebih tinggi kadar cahayanya daripada daerah yang mengelilinginya akan menimbulkan kelelahan mata (eyestrain) setelah jangka waktu tertentu.
Suyano (1985) secara rinci menyarankan apa yang ahrus diperhatikan agar silau di ruang tamu, kantor, ruang kelas dan ruang kerja lainnya dapat dihindari. Berikut ini anjuran-anjurannya :
1.    Jangan ada sumber cahaya yang ditempatkan pada bidang visual dari operatoe.
2.    Sumber sinar yang tidak tersaring, jangan dipakai di ruang kerja.
3.    Penyaringan harus demikian rupa hingga rata-rata terangnya tidak melebihi 0,3 Sb bagi penerangan umum dan 0,2 Sb bagi ruang kerja.
4.    Sudut antara garis pandang horizontal dengan garis penghubung antara mata dan sumber cahaya harus lebih dari 30
5.    Jika sudut terpaksa kurang dari 30, karena ruangan yang besar, lampunya harus disaring dan jika memakai lampu pendar, arah tabung harus mnyilang garis pandang.
6.    Untuk menghndari silau karena pantulan, tempat kerja harus diletakkan sedemikian rupa hingga garis pandang yang paling sering dipakai jangan berhimpit dengan cahaya yang terpantul, dan bahwa area pantulan dengan kontras yang melebihi 1:0 jangan sampai terjadi pada bidang vsual.
7.    Pemakaian perabot, mesin, papan wesel dan perkakas kerja yang berkilau-kilauan hendaknya dihindari.
Selain itu hal yang berkaitan dengan ambient condition yaitu warna. Banyak orang memberikan makna tinggi kepada penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat untuk ruangan-ruangan di rumah, di kantor, dan di pabrik. Mereka berpendapat bahwa  penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat dapat meningkatkan produksi, menurunkan kesalahan, dan meningkatkan semangat kerja.

Warna    Efek Jarak    Efek Suhu    Efek Psikis
Biru    jauh    sejuk    Menenangkan
Hijau    jauh    Sangat sejuk    Sangat menenangkan sampai netral
Merah    Dekat     panas    Sangat mengusik dan terkesiap
Oranye    Sangat dekat    Sangat panas    Merangsang
Kuning    dekat    Sangat panas    Merangsang
Coklat    Sangat dekat     netral    merangsang
Lembayung    Sangat dekat sejuk    Agresif, terkesiap    Melesukan

Hal lain yang termasuk dalam ambient condition yaitu sound atau suara. Suara yang bising dapat mengganggu konsentrasi seseorang. Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang tidak diinginkan, yang mengganggu, yang menjengkelkan. Dalam kehidupan sekarang ini bising merupakan keluohan yang banyak didengar. Orang merasa kebisingan dengan banyaknya suara yang ditimbulkan oleh ramainya lalu lintas, oleh suara mesin, oleh kerasnya suara radio, TV, cassette  recorder, dan sebagainya.
Akibat-akibat dari tingkat bising yang tinggi adalah :
1.    Timbulnya perubahan fisiologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada orang-orang yang mendengar bising pada tingkat 95-110 desibel, terjadi penciutan dari pembuluh darah, perubahan detak jantung, dilatasi dai pupil-pupil mata. Penyempitan dari pembuluh darah tetao berlangsung beberapa waktu setelah tidak ada bising lagi dan mengubah persediaan darah untuk seluruh tubuh.
2.    Adanya dampak fisiologis. Bising dapat mengganggu kesejahteraan emosional. Mereka yang bekerja dalam lingkungan yang ekstrem bising lebih agresif, penuh curiga, dan cepat jengkel dibandingkan dengan mereka yang bekerja dalam linhkungan yang lebih sepi.

Kamis, 17 Februari 2011

cover

Konsep Diri pada Orang Tua yang Memiliki Anak Autis di dalam Masyarakat












USULAN PENELITIAN

Anggi Perina Prislita    10508021





3 PA 01
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Depok
2011


DAFTAR ISI

                                                    Hal
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………………   1
A.    Latar Belakang Masalah……………………………………………………………….    2
B.    Pertanyaan Penelitian………………………………………………………………….     2
C.    Tujuan Penelitian………………………………………………………………………    2
D.    Manfaat Penelitian……………………………………………………………………..    2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………..  3
A.    Konsep Diri……...……………………………………………………………………...   3
1.    Pengertian Konsep Diri……...………………………………………………………  3
2.    Unsur-unsur Konsep Diri…………………………………………………………...   3
3.    Konsep Diri Negatif dan Positif…………………………………………………...    3
B.    Autis……...……………………………………………………………………………..   4
1.    Pengertian Autis……...……………………………………………………………..   4
2.    Karateristik Autis………………………………………….…………………….....    5
3.    Penyebab Autis….………………………………………………………………….   6
4.    Terapi Autis………………..……………………………………………………….    8
C.    Masyarakat…………………….……………………………………………………….   10
1.    Pengertian Masyarakat……………………………………………………………..   10
2.    Unsur-unsur Masyarakat……………………………………………………………  11
3.    Kriteria Masyarakat yang Baik…………………………………………………….   11
BAB III. METODE PENELITIAN.......................................................................    ………….  12
A.    Pendekatan Penelitian………………………………………………………    ………….  12
B.    Subjek Penelitian……………………………………………………………………....   13
C.    Tahap-Tahap Penelitian………………………………………………………………..   14
D.    Teknis Pengumpulan Data…………………………………………………………….    15
E.    Alat Bantu Penelitian………………………………………………………………….    21
F.    Keakuratan Penelitian…………………………………………………………………    22
G.    Teknik Analisis Data………………………………………………………………….    23

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….    26

Konsep Diri pada Orangtua yang Memiliki Anak Autis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di kalangan masyarakat saat ini dapat dijumpai penderita autis terutama anak-anak. Terkadang, ada masyarakat yang mencelanya namun ada juga yang sangat prihatin dengan keadaan si penderita.
Penyakit autisme ini masih belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Sehingga, mereka belum paham mengenai penanganan yang tepat bagi penderita autis.
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autisme masa kanak-kanak ini dapat dikoreksi. Tatalaksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, sebaiknya jangan melebihi usia lima tahun karena diatas usia ini perkembangan otak anak akan sangan melambat. Usia paling ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahap paling cepat. Menurut Mudjito, autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Instilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Adapun ciri-ciri pada penderita autisme yaitu terganggunya  Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju, kesulitan bermain dengan teman sebaya, tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah. Itulah sebagian dari ciri-ciri autism. (anonim, 2011)
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengungkap konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis.

B. Pertanyaan Penelitian
1.    Bagaimanakah gambaran mengenai konesep diri pada orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat ?
2.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis dalam masyarakat ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat lebih jauh mengenai konsep diri orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat, dan untuk mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
1.    Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan dan psikologi klinis. Karena psikologi lingkungan mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, psikologi klinis mengkaji tentang gangguan kesehatan.
2.    Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dan pembelajaran bagi penulis serta pembaca mengenai konsep diri pada orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Diri

1.    Pengertian Konsep Diri
Menurut Burke dan Sellin, konsep diri didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pengajaran atau kemampuan memberikan konsultasi kepada lingkungannya.
Menurut Pudjijogyanti (1985) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri (Burns dalam Mukhtar, 2003).
Dari keseluruhan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri atau gambaran seseorang mengenai dirinya dari berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial, dan psikologis, yang diperoleh dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan.

2.    Unsur-unsur Konsep Diri
Menurut Wahyurini dan Mashum (2003) unsure-unsur konsep diri meliputi :
a.    Penilaian diri merupakan pandangan diri kita terhadap :
1.    Pengendalian keinginan dan dorongan dalam diri.
2.    Suasana hati yang seang kita hayati seperti bahagia, sedih,  atau cemas.
b.    Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerima penilaian lingkungan sosial pada diri kita.
c.    Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran :
1.    Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi kelauarga atau peran lingkungan sosial kita.
2.    Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis.
3.    Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.

3.    Konsep Diri Negatif dan Positif
Rahmat (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) menyebutkan cirri-ciri orang yang memiliki konsep diri negative menurut Brook & Emert, yaitu :
a.    Peka terhadap kritik.
b.    Resonsif terhadap pujian.
c.    Hiperkritits terhadap orang lain.
d.    Merasa tidak disenangi oleh orang lain.
e.    Pesimis terhadap kompetisi.
Menurut Brook & Emmert (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) cirri-ciri konsep diri positif adalah :
a.    Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah.
b.    Merasa setara dengan orang lain.
c.    Menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
d.    Menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai peraaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e.    Mampu memperbaiki diri.
4.    Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Hurlock (dalam Siahaan, 2005) konsep diri memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan psikologis.
a.    Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari konsep individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelaminnya, arti penting tubuhnya dengan perilakunya dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain.
b.    Aspek psikologis
Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuan, harga dirinya dan hubungan dengan orang lain.

B.    Autis

1.    Pengertian Autis
Autisma atau Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang Autisma atau autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah Autisma atau autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau ( Handojo, 2003 ).
Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.

2.    Karateristik Autis
a.    Hambatan dalam Berkomunikasi :
1.    Anak mengalami keterlambatan bicara.
2.    Sering menggunakan kata-kata tetapi tidak tepat secara konteks dan tidak ada hubungannya dengan arti kata tersebut secara lazim.
3.    Menolak berbicara, atau berbicara sangat sedikit, misalnya ya atau tidak.
4.    Sering mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
5.    Menggunakan bahasa tubuh.
6.    Hanya mampu berkomunikasi dalam waktu singkat.
7.    Tidak menyukai stimuli pendengaran.
8.    Sering melakukan gerakan aneh untuk stimulasi diri sendiri, misalnya dengan memukul-mukul kepala, dada, dan lain-lain.
b.    Hambatan Sosial
1.    Anak lebih suka menyendiri.
2.    Bersikap dingin dan tidak memberi respon, misalnya tersenyum, tertawa, dan sebagainya.
3.    Tidak menaruh perhatian pada keadaan sekitar dan lingkungannya.
4.    Tidak tertarik dalam pertemanan dan relasi.
5.    Tidak menyukai bermain bersama anak lain.
6.    Tidak bereaksi terhadap isyarat.
7.    Menolak menatap mata lawan bicaranya.
8.    Bersosialisasi (berteman).
c.    Hambatan Penginderaan
1.    Sensitif terhadap stimuli panca indera, misalnya cahaya, suara, bau, dan rasa.
2.    Sulit memproses dan memberi reaksi pada indrawi.
3.    Mudah terganggu dengan situasi umum yang seharusnya normal, misalnya tangis bayi, mesin mobil, serangga, atau mesin printer.
d.    Hambatan Motorik
1.    Tidak bisa spontan dan refleks.
2.    Tidak memiliki imajinasi dalam bermain.
3.    Tidak bisa memerankan sesuatu atau terlibat dalam permainan yang bersifat pura-pura.
e.    Hambatan Perilaku
1.    Bisa sangat aktif atau sebaliknya.
2.    Sering marah dan kesal tanpa alasan yang jelas.
3.    Menaruh minat yang sangat tinggi dan obsesif terhadap suatu benda atau orang.
4.    Sulit mengubah rutinitas, dan menuntut “kesamaan” dalam kebiasaan mereka.
5.    Melakukan sesuatu yang diulang-ulang tanpa alasan yang jelas.

3.    Penyebab Autis
Autisme memilki berbagai penyebab. Sebelumnya, akan diceritakan suatu kasus mengenai anak yang menderita autis.
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur satu tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.
Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini :
a.    Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
b.    Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
c.    Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
d.    Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
e.    Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.

4.    Terapi Autisme
Bagaimana menangani anak penyandang autisme adalah sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Hal ini disebabkan kompleksnya treatment dan terapi pendidikan yang diketengahkan oleh para peneliti dan praktisi autis. Tidak ada prosedur standar, tetapi semua sepakat bahwa terapi harus dimulai sejak dini. Dimulainya terapi menyesuaikan dengan gejala yang timbul, mengingat autisme memiliki banyak sekali variasi gejala awal. Jadi, terapi tersebut diarahkan pada hambatan yang mula-mula dikenali. Beberapa terapi yang dikenal untuk penanganan autisme saat ini adalah sebagai berikut :
a.    Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah terapi dengan cara memberikan hadiah atau pujian (positive reinforcement) secara terprogram kepada penyandang autisme. Terapi ini paling populer digunakan di Indonesia.
b.    Terapi Wicara.
Terapi wicara adalah terapi untuk mengatasi kesulitan bicara dan berbahasa.
c.    Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapi untuk mengatasi hambatan motorik halus. Dilakukan dengan mengajari cara memegang pensil atau sendok dengan halus, menyuapkan makanan, dan sebagainya.
d.    Terapi Fisik
Terapi fisik adalah terapi untuk mengatasi gangguan pervasive dan motorik kasar. Misalnya, dengan latihan keseimbangan.
e.    Terapi Sosial
Terapi sosial adalah terapi untuk membantu penyandang autisme berkomunikasi dua arah dan memberikan fasilitas untuk berteman, sekaligus mengajari cara-caranya.
f.    Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi untuk membantu anak bermain dan membangun sinergi. Biasanya, terapi berkaitan dengan teknik-teknik permainan.
g.    Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi untuk mengatasi frustasi, mengajak anak memahami perubahan lingkungan dan memperbaiki perilakunya.
h.    Terapi Perkembangan
Merupakan terapi dengan mempelajari minat anak, mengetahui kekuatan dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan ke kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya.
i.    Terapi Visual
Terapi dengan mengembangkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui gambar. Misalnya, dengan video games.
j.    Terapi Biomedik
Terapi dengan berfokus pada gangguan metabolisme yang berdampak pada fungsi otak.
Tidak ada satu pun terapi yang menjamin keberhasilan mengatasi autisme. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dari orang tua untuk mempelajari terapi yang mana yang cocok untuk anak-anaknya.

C. Masyarakat

1. Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia :
a.    Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b.    Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c.    Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d.    Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Menurut ensiklopedi Indonesia, istilah “masyarakat” sekurang-kurangnya mengandung tiga pengertian :
a.    Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara kelompok sosial lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut gemain-scaft atau masyarakat paguyuban.
b.    Merupakan keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehudupan bersama. Istilah ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan.
c.    Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu autonomi (relative), seperti masyarakat barat, masyarakat primitive yang merupakan kelompok suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.

2.    Unsur-unsur Masyarakat
Menurut soekanto, alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut :
a.    Beranggotakan minimal dua orang.
b.    Anggotanya sadar sebagai kesatuan.
c.    Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar masyarakat.
d.    Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.

3.    Kriteria Masarakat yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat :
a.    Ada sistem tindakan utama.
b.    Saling setia pada sistem tindakan utama
c.    Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d.    Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.










BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
a.    Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
b.    Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
c.    Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
b.    Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
c.    Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
d.    Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
e.    Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.

B. Subjek Penelitian

1.    Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah orangtua yang memiliki anak autis.
2.    Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
a.    Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b.    Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c.    Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.


C.    Tahap-tahap Penelitian

Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
a.    Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
b.    Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

1.    Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
a.    Mengabdi kepada tujuan penelitian.
b.    Direncanakan secara sistematik.
c.    Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
d.    Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002)  sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a.    Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b.    Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c.    Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a.    Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua   observer.
b.    Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c.    Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d.    Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.

a.    Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1.    Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2.    Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3.    Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti. 
4.    Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a.    Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b.    General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c.    Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari  yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5.    Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a.    Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b.    Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c.    Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d.    Melatih observer untuk berbuat cermat. 

a.    Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1.    Kekurangannya
a.    Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b.    Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c.    Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d.    Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e.    Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2.    kelebihannya
a.    Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b.    Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c.    Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.

2.    Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a.    Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b.    Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c.    Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a.    Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b.    Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c.    Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga  yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
d.    Wawancara terstruktur  dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
  Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.

E. Alat Bantu Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
1.    Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
2.   Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
3.    Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
4.    Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.

F.    Keakuratan Penelitian

Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.  Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.




G.    Teknik Analisis Data

Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
1.    Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi    ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a.    Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b.    Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c.    Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a.    Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b.    Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c.    Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d.    Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.

2.    Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
3.    Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20SEKOLAH/MUSTOFA%20KAMIL/pengertian%20masyarakat.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/pengertian-autisma-autisme/
http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm
http://radenbeletz.com/penyebab-autis-pada-anak.html
http://health.kompas.com/index.php/read/2011/01/11/09501535/Lima.Faktor.Penyebab.Autisme-4
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme

Senin, 14 Februari 2011

Kecemasan Kaum Transeksual di dalam Lingkungan Sosial

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Di lingkungan masyarakat saat ini cukup banyak ditemukan kaum transeksual (waria). Bahkan dapat dijumpai hampir di setiap penjuru kota. Kaum transeksual ini bisa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Meskipun hal ini masih dianggap aneh pada sebagian masyarakat. Dalam interaksi tersebut, terdapat masyarakat yang bisa menerima kehadiran mereka, tetapi tidak sedikit pula yang menolak atau merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
Kehidupan perkotaan belakangan ini berkembang dengan pesat. Bukan hanya gaya hidup, tatanan nilai dan norma-norma kehidupan pun mulai bergeser dan berkembang menurut sebagian masyarakat. Suatu masyarakat memiliki kecendeerungan menerima perkembangan dan perubahan itu, namun sebagian lagi yang mengikuti tatanan norma, etika, dan moral, menolaknya.
Terdapat banyak penelitian yang menyatakan bahwa gangguan identitas gender lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Gangguan identitas gender ini biasa dikenal dengan sebutan transeksual.
Transeksual adalah orang yang identitas gendernya berlawanan dengan jenis kelaminnya secara biologis. Mereka merasa “terperangkap” di tubuh yang salah. Misalnya, seseorang yang terlahir dengan anatomi seks pria,tetapi merasa bahwa dirinya adalah wanita dan ingin diidentifikasi sebagai wanita. (Anonim, 2008)
Gangguan identitas gender pada laki-laki diawali oleh kecemasan yang terjadi secara pesisten sewaktu mereka masih kecil. Seperti anak laki-laki yang tidak menyukai alat genitalnya, dan perilakunya tidak sesuai dengan anak laki-laki lainnya. Contohnya mereka bermain boneka dan memakai pakaian ibunya.
Dunia waria belum banyak dikenal. Kurangnya pemahaman, tentu saja mudah membangkitkan buruk sangka. Sehingga, tidak sedikit masyarakat yang memandang hina para waria yang berada di sekeliling mereka.
Kehadiran mereka disekeliling kita masih belum sepenuhnya diterima. Tak jarang mereka deperlakukan sebagai manusia ajaib yang patut dtertawakan. Bahkan ada pula yang menganggap waria sebagai penyebar dosa, karena itu patut disingkirkan, dan pada tahap selanjutnya, penolakan ini menjadi sikap antipasti. Maka, dampaknya jelas, selain mempersempit ruang gerak pergaulan sehari-hari, juga sampai pada hal-hal yang serius, misalnya lapangan pekerjaan (Atmojo, 1986).
Padahal, waria itu juga manusia. Mereka memilki perasaan seperti yang lainnya. Mereka selalu diberi “label” perilaku seks menyimpang bahkan hal itu dianggap sebagai tindak kriminal.
 Menjadi bagian dari masyarakat atau lingkungan sosialnya bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Banyak hinaan, serta penolakan yang harus mereka hadapi. Sehingga, mereka mengalami kecemasan,
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:2008) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif.
Individu  dengan kecemasan yang tinggi akan cenderung selalu waspada terhadap lingkungan sekelilingnya. Sehingga, individu tersebut menjadi tidak tenang. Sebaliknya,  individu dengan tingkat kecemasan yang rendah, individu tersebut tidak terlalu bersikap waspada dan mempunyai pembawaan yang tenang.

B.    Pertanyaan Penelitian

1.    Bagaimanakah gambaran kecemasan pada kaum taranseksual di dalam lingkungan sosial ?
2.    Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecemasan pada kaum transeksual ?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari peneltitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecemasan pada kaum transeksual (waria) dalam lingkungan sosial dan factor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kecemasan pada kaum transeksual.


D.    Manfaat Penelitian
1.    Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan dan psikologi abnormal, karena psikologi lingkungan mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya dan psikologi abnormal mengkaji tentang gangguan-gangguan kejiwaan.
2.    Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dan pembelajaran bagi penulis serta pembaca mengenai kecemasn seorang waria di dalam lingkungan sosial.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Kecemasan

1.    Pengertian Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik.
Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efekivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Mulai munculnya perasaan-perasaan tertekan, tidak berdaya akan muncul apabila orang tidak siap menghadapi ancaman.
Ada juga yang megatakan bahwa kecemasan merupakan pengalaman emosional, dimana reaksi emosional terhadap situasi yang menekan merupakan bagian dari pengalaman sehari-hari.
Kecemasan merupakan perasaan subyektif yang dialami oleh individu. Hal ini disebabkan oleh situasi-situasi yang mengancam sehingga menyebabkan ketidakberdayaan individu (Freud, 1954). Kecemasan pada tingkat tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari respon normal untuk mengatasi masalah sehari-hari. Kecemasan merupakan suatu penyerta normal dari pertumbuhan, perubahan, pengalaman sesuatu yang baru dan belum dicoba serta penemuan identitas diri dan juga menemukan arti hidup. (Kaplan, dkk, 1996). Whitehead, (1985) juga mengemukakan kecemasan sebagai pengalaman individu yang timbul karena menghadapi konflik, ketegangan, ancaman kegagalan, maupun perasaan tidak aman. Individu yang mengetahui penyebab sumber kecemasannya merupakan suatu pertanda bahwa kecemasan tersebut adalah suatu emosi yang wajar.
Selain itu, kecemasan merupakan hasil dari situasi yang mengancam, yaitu kecemasan ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut. Segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan organisme dapat menyebabkan kecemasan (Atkinson, 1996). Situasi yang mengancam meliputi ancaman fisik, ancaman terhadap harga diri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuan juga dapat menyebabkan kecemasan. Kecemasan merupakan akibat dari suatu konflik, ketegangan, ancaman kegagalan maupun perasaan tidak aman.

2.    Penyebab Kecemasan
Ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan individu mengalami kecemasan. Faktor-faktor tersebut adalah keadaan biologis, kemampuan beradaptasi atau mempertahankan diri terhadap lingkungan yang diperoleh dari perkembangan dan pengalaman, serta adaptasi terhadap rangsangan, situasi atau stressor yang dihadapi. Sumber stressor/situasi yang dapat menyebabkan kecemasan didapatkan dari lingkungan sosial. Lingkungan sosial mempunyai aturan-aturan, kebiasaan, hukum-hukum yang berlaku di daerah tertentu. Hal inilah yang menyebabkan individu harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang ada. Individu yang tidak dapat menyesuikan diri dengan norma/aturan dalam masyarakat akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri dan sosialnya, sehingga dapat menimbulkan kecemasan.
Menurut Sigmund Freud, seorang pakar psikologi, kecemasan akan muncul ketika:
a.    Id (rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungan. Oleh Freud disebut sebagai Neurotic Anxiety.
b.    Ego (bagian dari kepribadian manusia yang memberi kesadaran akan adanya dunia di luar dirinya, dan kemungkinan untuk berorientasi pada realita) menyadari akan adanya hal yang menguatirkan. Inilah yang menyebabkan Realistic Anxiety, menurut Freud.
c.    Super Ego (kesadaran moral akan apa yang baik dan jahat) menjadi begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah dan rasa malu, yang disebut Moral Anxiety oleh Freud.
Pdt. Dr. Yakub Susabda menyebutkan bahwa kebenaran pandangan Freud tersebut tidak cukup menjelaskan penyebab kecemasan. Sebab, menurut Pdt. Susabda, tidak ada kecemasan yang berdiri sendiri. Yang lebih normal terjadi adalah kombinasi dari ketiganya sebagai reaksi terhadap realita-realita:

1) Ancaman, yaitu kesadaran akan adanya ancaman terhadap dirinya baik secara fisik, maupun  psikis.
2) Konflik Kemauan, yakni antara kemauan melakukan (approach) dengan kemauan menghindar (avoidance). Approach, memberikan kepuasan yang diharapkan. Sedangkan Avoidance menghasilkan hal-hal yang tidak menyenangkan. Terdapat tiga macam konflik kemauan, yaitu:
• Konflik akibat Approach-Approach. Konflik ini timbul karena adanya kemauan yang sama-sama menyenangkan, tetapi tidak mungkin dilakukan sekaligus, sehingga menimbulkan kecemasan.
• Konflik akibat Approach-Avoidance. Kemauan dan ketidak-mauan yang sama kuatnya alasan masing-masing.
• Konflik akibat Avoidance-Avoidance. Konflik yang ditimbulkan oleh karena dua alternatif yang hasil akhirnya sama-sama tidak diinginkan.
3) Ketakutan, yaitu ketakutan pada sesuatu yang menyebabkan timbulnya kecemasan. Misalnya: takut gagal menimbulkan kecemasan ketika menghadapi ujian, takut ditolak menimbulkan kecemasan di waktu berjumpa dengan orang baru. Bahkan ketakutan tanpa alasan pun dapat menimbulkan kecemasan yang makin lama makin serius.
4) Kebutuhan yang tidak Terpenuhi, sekian banyaknya kebutuhan hidup yang paling mendasar disebutkan oleh berbagai ahli, seperti kebutuhan akan kenikmatan (Freud), kebutuhan akan kuasa (Alfred Adler), kebutuhan akan arti kehidupan ( Victor Frankl), sampai pandangan cukup banyak orang akan kebutuhan mengasihi, dikasihi, dan merasa diri berharga. Dan kala kebutuhan, yang oleh Pdt. Susabda diringkaskan menjadi tiga: security, survival, dan self-fulfilment itu, tidak tercukupi maka akan timbul kecemasan.
5) Keunikan Kepribadian, setiap orang memiliki kepribadian yang unik dalam bersikap hati terhadap realita maupun bukan realita. Ada orang yang tidak tahan menghadapi persoalan kecil lalu timbul kecemasan, tetapi ada tipe orang yang menghadapi tekanan dan konflik hidup yang berat tanpa menimbulkan kecemasan apapun. Beberapa unsur pembentukan kepribadian seringkali menyebabkan besar kecilnya daya tahan terhadap konflik, yaitu:
• Unsur Psikologis. Setiap orang "belajar" bagaimana ia berreaksi terhadap kesuksesan dan kegagalan. Pengalaman menentukan kadar kecemasan.
• Unsur Keturunan. Beberapa sikap hati ditentukan oleh unsur genetika/keturunan. Ada kalanya, seseorang lebih sensitif dikarenakan orang tuanya ber-temperamen Sanguin-Melankolis misalnya.
• Unsur Sosiologis. Keadaan sosial potensial untuk membentuk kecemasan seseorang. Perasaan aman dan puas dalam kehidupan sosial (social life) menentukan besar kecilnya kadar kecemasan. Misalnya: kondisi sosial politik di Indonesia yang tidak menentu seperti sekarang ini (1999) suatu hari kelak akan membentuk manusia Indonesia yang mudah cemas.
• Unsur Fisiologis. Kondisi kesehatan tubuh menentukan kadar kecemasan. Seseorang yang kurang sehat atau sakit-sakitan akan rentan terhadap perasaan cemas yang berkepanjangan. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang kerap kali cemas akan terganggu kesehatannya.
• Unsur Teologis. Kadar iman seseorang menentukan kadar kecemasannya. Semakin tinggi imannya, semakin rendah kecemasannya.

3.    Jenis-jenis kecemasan
a.    Khawatir
Kekhawatiran merupakan rangkaian pikiran dan citra negatif tentang keprihatinan, yang biasanya berhubungan dengan masa depan. Khawatir meliputi kombinasi antara pemikiran obsesif tentang cara memecahkan atau menghindari masalah.
b.    Kecemasan sosial
Kecemasan sosial adalah suatu bentuk kecemasan yang terjadi ketika kita berinteraksi dengan manusia lain, kecemasan bisa berbentuk ketakutan akan pandangan orang lain terhadap kita atau hal lainnya yang membuat kita khawatir.
c.    Ketakutan spesifik
Ketakutan spesifik biasa dikenal dengan sebutan fobia. Fobia biasanya ditandai dengan gejala-gejala tertentu seperti perasaan takut terhadap suatu benda atau keadaan tertenu secara terus menerus, perasaan ingin menghindari keadaan tersebut, perasaan cemas akan keadaan tertentu tersebut, panik, dan langsung pergi menghindarinya.
d.    Obsesi dan kompulsi
Obsesi adalan pemikiran, gagasan, gambaran atau impuls yang selalu kembali, dan seseorang melihatnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal atau memuakkan dan menimbulkan kecemasan. Hal tersebut terjadi secara tidak sengaja. Orang tersebut mengetahui bahwa hal tesebut adalah hasil pemikirannya tetapi mereka tidak bisa menghentikannya. Sedangkan kompulsi adalah hal-hal yang digunakan seseorang untuk menekan pikiran yang mereka tidak kehendaki. Hal ini merupakan cara untuk mengurangi kecemasan yang disebabkan oleh obsesi
e.    Kecemasan pascatrauma
Kecemasan pascatrauma adalah suatu kecemasan akan sesuatu yang  pernah dialami seseorang. Kecemasan ini terjadi terjadi ketika pengalaman buruk menimpa seseorang yang kebetulan rentan. Hasilnya dapat menyebabkan terus menerus mengingat pengalaman tersebut, kewaspadaan yang berlebihan, dan menarik diri dari lingkungan sosial.

B.    Transeksual

1.    Pengertian Transeksual
Transeksual adalah individu yang memiliki identitas gender yang berlawanan dari seks biologisnya.
Menurut Sunaryo (2004) transeksual adalah abnormalitas seksual berupa gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) waria adalah pria yang memiliki perasaan sebagai wanita.
Dari keseluruhan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transeksual adalah seorang laki-laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita dan memilki perasaan sebagai wanita serta memilliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.

2.    Faktor-faktor yang Menyebabkan Seseorang Menjadi Waria
a.    Faktor biologis
Penjelasan biologis munculnya gangguan identitas gender sangat berkaitan dengan hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi neuron otak, berkontribusi terhadap maskulinitas otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus, dan sebaliknya dengan hormon feminism.
b.    Faktor psikososial
Seorang anak akan mengembangkan identitas gendrnya selaras dengan apa yang diajarkan pada mereka selama masa pengasuhan. Menurut pedekatan psikososial, terbentuknya gangguan identitas gender dipengaruhi oleh interaksi tempramen anak, kualitas, dan sikap orang tua. Secara budaya, masih terdapat larangan bagi anak laki-laki untuk menunjukkan perilaku feminism, dan anak perempuan menjadi tomboy, termasuk dengan pembedaan terhadap pakaian dan mainan untuk anak laki-laki dan perempuan.

C.    Lingkungan

1.    Pengertian Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah tempat atau kumpulan yang didalamnya terjadi interaksi. Lingkungan sosial juga dapat dikaji melalui Psikologi Lingkungan. Karena menurut Proshanky (1974) melihat bahwa psikologi lingkungan member perhatian terhadap manusia dalam hubungannya dengan setting fisik. Lingkungan fisik tidak hanya berarti rangsang-rangsang fisik (seperti cahaya, suhu, bentuk, warna, dan kepadatan) terhadap objek-objek fisik tertentu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu kompleksitas yang terdiri dari beberapa setting fisik dimana seseorang tinggal, berinteraksi, dan beraktivitas.












BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
1.    Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
2.    Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
3.    Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
2.    Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
3.    Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
4.    Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
5.    Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.

B. Subjek Penelitian

1.    Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah seorang waria yang berusia 26 tahun.
2.    Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
a.    Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b.    Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c.    Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.


C.    Tahap-tahap Penelitian

Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
1.    Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
2.    Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

1.    Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
a.    Mengabdi kepada tujuan penelitian.
b.    Direncanakan secara sistematik.
c.    Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
d.    Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002)  sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a.    Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b.    Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c.    Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a.    Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua   observer.
b.    Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c.    Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d.    Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.

a.    Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1.    Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2.    Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3.    Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti. 
4.    Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a.    Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b.    General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c.    Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari  yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5.    Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a.    Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b.    Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c.    Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d.    Melatih observer untuk berbuat cermat. 

b.    Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1.    Kekurangannya
a.    Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b.    Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c.    Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d.    Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e.    Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2.    kelebihannya
a.    Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b.    Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c.    Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.

2.    Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a.    Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b.    Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c.    Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a.    Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b.    Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c.    Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga  yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
d.    Wawancara terstruktur  dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
  Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.


E. Alat Bantu Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
1.    Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
2.   Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
3.    Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
4.    Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.
F.    Keakuratan Penelitian

Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.  Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.




G.    Teknik Analisis Data

Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
1.    Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi    ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a.    Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b.    Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c.    Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a.    Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b.    Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c.    Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d.    Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.
2.    Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
3.    Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.













DAFTAR PUSTAKA

http://psikologi4u.blogspot.com/2008/08/transeksual-dan-transgender.html
http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/05/pengertian-kecemasan-anxiety.pdf
http://www.oocities.com/gkiamb/kecemasan.htm
http://miegosong.blogspot.com/2010/10/jenis-kecemasan.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan_babII-pendahuluan.pdf