BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kalangan masyarakat saat ini dapat dijumpai penderita autis terutama anak-anak. Terkadang, ada masyarakat yang mencelanya namun ada juga yang sangat prihatin dengan keadaan si penderita.
Penyakit autisme ini masih belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Sehingga, mereka belum paham mengenai penanganan yang tepat bagi penderita autis.
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autisme masa kanak-kanak ini dapat dikoreksi. Tatalaksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, sebaiknya jangan melebihi usia lima tahun karena diatas usia ini perkembangan otak anak akan sangan melambat. Usia paling ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahap paling cepat. Menurut Mudjito, autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Instilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Adapun ciri-ciri pada penderita autisme yaitu terganggunya Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju, kesulitan bermain dengan teman sebaya, tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah. Itulah sebagian dari ciri-ciri autism. (anonim, 2011)
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengungkap konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran mengenai konesep diri pada orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat lebih jauh mengenai konsep diri orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat, dan untuk mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan dan psikologi klinis. Karena psikologi lingkungan mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, psikologi klinis mengkaji tentang gangguan kesehatan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dan pembelajaran bagi penulis serta pembaca mengenai konsep diri pada orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Burke dan Sellin, konsep diri didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pengajaran atau kemampuan memberikan konsultasi kepada lingkungannya.
Menurut Pudjijogyanti (1985) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri (Burns dalam Mukhtar, 2003).
Dari keseluruhan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri atau gambaran seseorang mengenai dirinya dari berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial, dan psikologis, yang diperoleh dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan.
2. Unsur-unsur Konsep Diri
Menurut Wahyurini dan Mashum (2003) unsure-unsur konsep diri meliputi :
a. Penilaian diri merupakan pandangan diri kita terhadap :
1. Pengendalian keinginan dan dorongan dalam diri.
2. Suasana hati yang seang kita hayati seperti bahagia, sedih, atau cemas.
b. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerima penilaian lingkungan sosial pada diri kita.
c. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran :
1. Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi kelauarga atau peran lingkungan sosial kita.
2. Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis.
3. Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
3. Konsep Diri Negatif dan Positif
Rahmat (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) menyebutkan cirri-ciri orang yang memiliki konsep diri negative menurut Brook & Emert, yaitu :
a. Peka terhadap kritik.
b. Resonsif terhadap pujian.
c. Hiperkritits terhadap orang lain.
d. Merasa tidak disenangi oleh orang lain.
e. Pesimis terhadap kompetisi.
Menurut Brook & Emmert (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) cirri-ciri konsep diri positif adalah :
a. Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah.
b. Merasa setara dengan orang lain.
c. Menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
d. Menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai peraaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e. Mampu memperbaiki diri.
4. Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Hurlock (dalam Siahaan, 2005) konsep diri memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan psikologis.
a. Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari konsep individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelaminnya, arti penting tubuhnya dengan perilakunya dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuan, harga dirinya dan hubungan dengan orang lain.
B. Autis
1. Pengertian Autis
Autisma atau Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang Autisma atau autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah Autisma atau autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau ( Handojo, 2003 ).
Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.
2. Karateristik Autis
a. Hambatan dalam Berkomunikasi :
1. Anak mengalami keterlambatan bicara.
2. Sering menggunakan kata-kata tetapi tidak tepat secara konteks dan tidak ada hubungannya dengan arti kata tersebut secara lazim.
3. Menolak berbicara, atau berbicara sangat sedikit, misalnya ya atau tidak.
4. Sering mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
5. Menggunakan bahasa tubuh.
6. Hanya mampu berkomunikasi dalam waktu singkat.
7. Tidak menyukai stimuli pendengaran.
8. Sering melakukan gerakan aneh untuk stimulasi diri sendiri, misalnya dengan memukul-mukul kepala, dada, dan lain-lain.
b. Hambatan Sosial
1. Anak lebih suka menyendiri.
2. Bersikap dingin dan tidak memberi respon, misalnya tersenyum, tertawa, dan sebagainya.
3. Tidak menaruh perhatian pada keadaan sekitar dan lingkungannya.
4. Tidak tertarik dalam pertemanan dan relasi.
5. Tidak menyukai bermain bersama anak lain.
6. Tidak bereaksi terhadap isyarat.
7. Menolak menatap mata lawan bicaranya.
8. Bersosialisasi (berteman).
c. Hambatan Penginderaan
1. Sensitif terhadap stimuli panca indera, misalnya cahaya, suara, bau, dan rasa.
2. Sulit memproses dan memberi reaksi pada indrawi.
3. Mudah terganggu dengan situasi umum yang seharusnya normal, misalnya tangis bayi, mesin mobil, serangga, atau mesin printer.
d. Hambatan Motorik
1. Tidak bisa spontan dan refleks.
2. Tidak memiliki imajinasi dalam bermain.
3. Tidak bisa memerankan sesuatu atau terlibat dalam permainan yang bersifat pura-pura.
e. Hambatan Perilaku
1. Bisa sangat aktif atau sebaliknya.
2. Sering marah dan kesal tanpa alasan yang jelas.
3. Menaruh minat yang sangat tinggi dan obsesif terhadap suatu benda atau orang.
4. Sulit mengubah rutinitas, dan menuntut “kesamaan” dalam kebiasaan mereka.
5. Melakukan sesuatu yang diulang-ulang tanpa alasan yang jelas.
3. Penyebab Autis
Autisme memilki berbagai penyebab. Sebelumnya, akan diceritakan suatu kasus mengenai anak yang menderita autis.
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur satu tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.
Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini :
a. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
b. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
c. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
d. Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
e. Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.
4. Terapi Autisme
Bagaimana menangani anak penyandang autisme adalah sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Hal ini disebabkan kompleksnya treatment dan terapi pendidikan yang diketengahkan oleh para peneliti dan praktisi autis. Tidak ada prosedur standar, tetapi semua sepakat bahwa terapi harus dimulai sejak dini. Dimulainya terapi menyesuaikan dengan gejala yang timbul, mengingat autisme memiliki banyak sekali variasi gejala awal. Jadi, terapi tersebut diarahkan pada hambatan yang mula-mula dikenali. Beberapa terapi yang dikenal untuk penanganan autisme saat ini adalah sebagai berikut :
a. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah terapi dengan cara memberikan hadiah atau pujian (positive reinforcement) secara terprogram kepada penyandang autisme. Terapi ini paling populer digunakan di Indonesia.
b. Terapi Wicara.
Terapi wicara adalah terapi untuk mengatasi kesulitan bicara dan berbahasa.
c. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapi untuk mengatasi hambatan motorik halus. Dilakukan dengan mengajari cara memegang pensil atau sendok dengan halus, menyuapkan makanan, dan sebagainya.
d. Terapi Fisik
Terapi fisik adalah terapi untuk mengatasi gangguan pervasive dan motorik kasar. Misalnya, dengan latihan keseimbangan.
e. Terapi Sosial
Terapi sosial adalah terapi untuk membantu penyandang autisme berkomunikasi dua arah dan memberikan fasilitas untuk berteman, sekaligus mengajari cara-caranya.
f. Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi untuk membantu anak bermain dan membangun sinergi. Biasanya, terapi berkaitan dengan teknik-teknik permainan.
g. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi untuk mengatasi frustasi, mengajak anak memahami perubahan lingkungan dan memperbaiki perilakunya.
h. Terapi Perkembangan
Merupakan terapi dengan mempelajari minat anak, mengetahui kekuatan dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan ke kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya.
i. Terapi Visual
Terapi dengan mengembangkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui gambar. Misalnya, dengan video games.
j. Terapi Biomedik
Terapi dengan berfokus pada gangguan metabolisme yang berdampak pada fungsi otak.
Tidak ada satu pun terapi yang menjamin keberhasilan mengatasi autisme. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dari orang tua untuk mempelajari terapi yang mana yang cocok untuk anak-anaknya.
C. Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia :
a. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Menurut ensiklopedi Indonesia, istilah “masyarakat” sekurang-kurangnya mengandung tiga pengertian :
a. Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara kelompok sosial lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut gemain-scaft atau masyarakat paguyuban.
b. Merupakan keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehudupan bersama. Istilah ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan.
c. Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu autonomi (relative), seperti masyarakat barat, masyarakat primitive yang merupakan kelompok suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.
2. Unsur-unsur Masyarakat
Menurut soekanto, alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut :
a. Beranggotakan minimal dua orang.
b. Anggotanya sadar sebagai kesatuan.
c. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar masyarakat.
d. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
3. Kriteria Masarakat yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat :
a. Ada sistem tindakan utama.
b. Saling setia pada sistem tindakan utama
c. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
a. Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
b. Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
c. Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
b. Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
c. Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
d. Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
e. Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah orangtua yang memiliki anak autis.
2. Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
a. Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.
C. Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
a. Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
a. Mengabdi kepada tujuan penelitian.
b. Direncanakan secara sistematik.
c. Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
d. Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002) sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a. Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b. Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c. Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a. Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua observer.
b. Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c. Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d. Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.
a. Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1. Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2. Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3. Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti.
4. Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a. Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b. General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c. Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5. Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a. Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b. Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c. Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d. Melatih observer untuk berbuat cermat.
a. Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1. Kekurangannya
a. Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b. Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c. Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d. Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e. Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2. kelebihannya
a. Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b. Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c. Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
2. Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a. Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c. Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b. Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c. Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
d. Wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.
E. Alat Bantu Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
1. Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
2. Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
3. Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
4. Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.
F. Keakuratan Penelitian
Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
1. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a. Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c. Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a. Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b. Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c. Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d. Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
3. Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20SEKOLAH/MUSTOFA%20KAMIL/pengertian%20masyarakat.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/pengertian-autisma-autisme/
http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm
http://radenbeletz.com/penyebab-autis-pada-anak.html
http://health.kompas.com/index.php/read/2011/01/11/09501535/Lima.Faktor.Penyebab.Autisme-4
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar