I. Pengertian Privacy
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi privasi, yaitu :
1. Faktor personal. Marshal (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memililih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa.
2. Faktor situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
3. Faktor budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbaai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku iban di Kalimantan. Yours pada orang Gypsy dan Geertz pada orang jawa dan bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Prabowo, Hendra. 1998. Arsitektur Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma
Rabu, 30 Maret 2011
Privasi
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
04.53
Tidak ada komentar:
Jumat, 25 Maret 2011
Teritorialitas
I. Pengertian Teritorial
Holahan (dalam Iskandar, 1990) mengungkap bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
II. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987) terdapat empat karakteristik dari teritorialitas.yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat,
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu,
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitifdan kebutuhan – kebutuhan estetika.
Ada empat tipe teritore menurut Hussein Al-Sharkawy (dalam Lang, 1987), yaitu :
1. Attached Territori adalah ‘gelembung ruang’
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi
3. Supporting Territory adalah ruang-ruang yang bersifat semi privat dan semi public.
4. Peripheral Territory adalah ruang public yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tapi tidak dapt memiliki dan menuntutnya.
Atman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :
1. Teritorialitas Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadapteritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknyadan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
Ruang kerja, ruang tidur
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadapteritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknyadan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
Ruang kerja, ruang tidur
2. Teritori Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lainyang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
kantor, toilet
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lainyang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
kantor, toilet
3. Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
ruang kuliah, bangku Bus. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga : stalls, turns, dan use space.
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
ruang kuliah, bangku Bus. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga : stalls, turns, dan use space.
· Stalls merupakan suatu tempat yang disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu. Contoh : kamar hotel, kamar asrama, ruangan kerja, dan lain-lain.
· Turns mirip dengan stalls hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaan. Turns dipakai orang dalam waktu singkat, misalnya antrian karcis, antrian bensin, dan lain-lain.
· Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contoh : seseorang yang sedang mengamati lukisan di pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah ‘use space’.
III. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Smith (dalam Gifford, 1987) melakukan studi tentang penggunaan pantai pada orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini memiliki pola yang sama dengan studi lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikkan suatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dari hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdaarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, Dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka seringkali menegakkan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas hanya berbeda diantara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang dikatakan sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai teritorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber :
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
05.40
Tidak ada komentar:
Jumat, 18 Maret 2011
Ruang Personal
I. Pengertian Privacy
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
II. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975): pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Dimana beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai Ruang Personal itu sendiri, diantaranya,
a. Menurut Sommer
Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. (dalam Altman, 1975)
b. Goffman
menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri. (dalam Altman, 1975)
Selain itu ada beberapa definisi ruang personal yang diambil secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
1. Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
3. Pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Di bawah ini merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi ruang personal, diantaranya yaitu :
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang Ruang personal ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
III. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Sumber :
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/ (Disarikan dari: Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/04/privacy-personal-space-dan-teritorial.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
II. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975): pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Dimana beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai Ruang Personal itu sendiri, diantaranya,
a. Menurut Sommer
Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. (dalam Altman, 1975)
b. Goffman
menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri. (dalam Altman, 1975)
Selain itu ada beberapa definisi ruang personal yang diambil secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
1. Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
3. Pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Di bawah ini merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi ruang personal, diantaranya yaitu :
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang Ruang personal ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
III. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Sumber :
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/ (Disarikan dari: Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/04/privacy-personal-space-dan-teritorial.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
06.05
Tidak ada komentar:
Senin, 14 Maret 2011
kesesakan lingkungan
Kesesakan Lingkungan
Menurut Atman (1975) kesesakan merupakan suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
Sears, dkk. (1994) mengatakan kesesakan sebagai perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subyektif.
Dari dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesesakan merupakan suatu kondisi yang bersifat subyektif, di mana di dalamnya terdapat suatu interaksi antar individu dalam keadaan yang sempit.
Di bawah ini merupakan teori kesesakan, antara lain :
1. Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
3. Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu : personal, social, dan fisik.
a. Faktor Personal
Faktor ini terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control, budaya, pengalaman dan proses adaptasi serta jenis kelamin dan usia.
1) Kontrol Pribadi dan Locus of Control
Menurut Schopler dan Stokol (dalam Shaw dan Constanzo, 1985) kesesakan yang dialami manusia adalah pengalaman yang termasuk dalam stress psikologis, dimana stress tersebut adalah konsekuensi dari rasa hilangnya kontrol atas aturan-aturan yang ada dalam ruang termasuk jarak interpersonal.
Perbedaan individu dalam bertindak di kepadatan tinggi dipengaruhi oleh tingkat kontrol yang dimiliki. Suatu penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang meningkatkan kontrol diri lebih tinggi dapat mengurangi kesesakan dan lebihj sedikit merasakan dampak negatifnya (Langer dan Saegert dalam Bell, 2001).
2) Budaya, Pengalaman, dan Proses Adaptasi
Masyarakat yang sudah sangat lama dalam mengatasi dampak kesesakan tinggi dengan baik adalah budaya masyarakat Cina. Dimana masyarakat Cina dapat menjadi sangat akrab dan nyaman jika berada di lingkungan berkepadatan tinggi dan ketika diberi pilihan lebih memilih tinggal di kondisi yang kurang padat (Aiello dan Thompson dalam Bell, 2001).
Perbedaan reaksi individu dalam kepadatan tinggi tergantung pada tingkat kemampuan adaptasi individu yang berasal dari pengalaman masa lalu di lingkungan berkepadatan tinggi (Bell, 2001).
3) Jenis Kelamin dan Usia
Freedman (dalam Bell, 2001) menemukan bahwa laki-laki mengalami mood yang lebih negative dalam kondisi ruang yang berkepadatan tinggi daripada ruang yang berkepadatan rendah. Ini dikarenakan laki-laki membutuhkan ruang personal yeng lebih besar, lebih menyukai kompetisi dibandingkan wanita yang lebih menyukai berafiliasi dalam kehidupan social (Deaux dan Lafrance dalam Bell, 2001).
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan kesesakan. Faktor-faktor social tersebut menurut Gifford (1987) adalah :
1) Kehadiran dan Perilaku Orang Lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
2) Formasi Koalisi
Mningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Misalnya, penambahan teman sekamar dalam asrama dapat memunculkan keadaan negative, seperti stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol yang disebabkan karenaa terbentuknya koalisi disatu pihak dan satu orang yang terisolasi di pihak lain.
3) Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang tersebut.
4) Informasi yang Tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan.
c. Faktor Fisik
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi kesesakan adalah :
1) Besarnya Skala Lingkungan
Menurut Stokol (dalam Deaux & Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa teori kesesakan mempunyai intensitas yang sangat kuat dan sulit dipecahkan dalam lingkungan primer seperti tempat tinggal atau lingkungan kerja, dimana individu banyak menghabiskan waktu berhubungan dengan individu lain atas dasar pribadi.
Adapun pengaruh kesesakan terhadap perilaku yaitu terganggunya aktivitas iindividu, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya.
Pengaruh negative dari kesesakan yaitu terbentuk dalam penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, agresivitas meningkat, bahkan juga gangguan mental.
Pengaruh fisiologisnya yaitu meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius.
Sedangkan, pengaruh dari proses sosialnya yaitu menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan berkurangnya intensitas hubungan sosial.
Sumber :
http://guea31.wordpress.com/2011/03/04/teori-kesesakan/
http://elearning.gunadarma.ac.id/
Menurut Atman (1975) kesesakan merupakan suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
Sears, dkk. (1994) mengatakan kesesakan sebagai perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subyektif.
Dari dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesesakan merupakan suatu kondisi yang bersifat subyektif, di mana di dalamnya terdapat suatu interaksi antar individu dalam keadaan yang sempit.
Di bawah ini merupakan teori kesesakan, antara lain :
1. Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
3. Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu : personal, social, dan fisik.
a. Faktor Personal
Faktor ini terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control, budaya, pengalaman dan proses adaptasi serta jenis kelamin dan usia.
1) Kontrol Pribadi dan Locus of Control
Menurut Schopler dan Stokol (dalam Shaw dan Constanzo, 1985) kesesakan yang dialami manusia adalah pengalaman yang termasuk dalam stress psikologis, dimana stress tersebut adalah konsekuensi dari rasa hilangnya kontrol atas aturan-aturan yang ada dalam ruang termasuk jarak interpersonal.
Perbedaan individu dalam bertindak di kepadatan tinggi dipengaruhi oleh tingkat kontrol yang dimiliki. Suatu penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang meningkatkan kontrol diri lebih tinggi dapat mengurangi kesesakan dan lebihj sedikit merasakan dampak negatifnya (Langer dan Saegert dalam Bell, 2001).
2) Budaya, Pengalaman, dan Proses Adaptasi
Masyarakat yang sudah sangat lama dalam mengatasi dampak kesesakan tinggi dengan baik adalah budaya masyarakat Cina. Dimana masyarakat Cina dapat menjadi sangat akrab dan nyaman jika berada di lingkungan berkepadatan tinggi dan ketika diberi pilihan lebih memilih tinggal di kondisi yang kurang padat (Aiello dan Thompson dalam Bell, 2001).
Perbedaan reaksi individu dalam kepadatan tinggi tergantung pada tingkat kemampuan adaptasi individu yang berasal dari pengalaman masa lalu di lingkungan berkepadatan tinggi (Bell, 2001).
3) Jenis Kelamin dan Usia
Freedman (dalam Bell, 2001) menemukan bahwa laki-laki mengalami mood yang lebih negative dalam kondisi ruang yang berkepadatan tinggi daripada ruang yang berkepadatan rendah. Ini dikarenakan laki-laki membutuhkan ruang personal yeng lebih besar, lebih menyukai kompetisi dibandingkan wanita yang lebih menyukai berafiliasi dalam kehidupan social (Deaux dan Lafrance dalam Bell, 2001).
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan kesesakan. Faktor-faktor social tersebut menurut Gifford (1987) adalah :
1) Kehadiran dan Perilaku Orang Lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
2) Formasi Koalisi
Mningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Misalnya, penambahan teman sekamar dalam asrama dapat memunculkan keadaan negative, seperti stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol yang disebabkan karenaa terbentuknya koalisi disatu pihak dan satu orang yang terisolasi di pihak lain.
3) Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang tersebut.
4) Informasi yang Tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan.
c. Faktor Fisik
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi kesesakan adalah :
1) Besarnya Skala Lingkungan
Menurut Stokol (dalam Deaux & Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa teori kesesakan mempunyai intensitas yang sangat kuat dan sulit dipecahkan dalam lingkungan primer seperti tempat tinggal atau lingkungan kerja, dimana individu banyak menghabiskan waktu berhubungan dengan individu lain atas dasar pribadi.
Adapun pengaruh kesesakan terhadap perilaku yaitu terganggunya aktivitas iindividu, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya.
Pengaruh negative dari kesesakan yaitu terbentuk dalam penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, agresivitas meningkat, bahkan juga gangguan mental.
Pengaruh fisiologisnya yaitu meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius.
Sedangkan, pengaruh dari proses sosialnya yaitu menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan berkurangnya intensitas hubungan sosial.
Sumber :
http://guea31.wordpress.com/2011/03/04/teori-kesesakan/
http://elearning.gunadarma.ac.id/
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.04
Tidak ada komentar:
Kamis, 03 Maret 2011
Kepadatan
Kepadatan
Kepadatan adalah suatu kondisi dimana terdapat jumlah yang sangat banyak didalam suatu tempat, melebihi kapasitas tempat tersebut.
Menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:
1. Jumlah individu dalam sebuah kota,
2. Jumlah individu pada daerah sensus,
3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal,
4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,
5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.
Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:
1. kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang
2. kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1. Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
2. Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.
Akibat kepadatan tinggi
kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah sehingga dapat menimbulkan stress. Ada berbagai akibat yang dihasilkan dari kepadatan yang tinggi. Misalnya saja bila dilihat dari aspek kesehatan, yaitu munculnya sesak nafas, penekanan denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain. Selain itu, bisa juga dilihat dari aspek sosial, yaitu kenakalan remaja dan meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
1. Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang ma berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
3. Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 19840.
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
6. Kepadatan dengan perbedaan budaya
Budaya mayarakat kota dan masyarakat desa jelas berbeda. Jika dilihat dari mata pencahariannyapun berbeda. Di kota, banyak yang menjadi pengusaha, manager, pebisnis, dan lain-lain. Sedangkan di desa, sebagian besar dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pedagang.
Kepadatan penduduk di kota dan di desa pun berbeda. Jumlah penduduk di kota lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di desa. Sehingga, di kota banyak sekali terdapat polusi udara, hampir di setiap ruas jalan terdapat rumah atau bangunan-bangunan.
Sumber :
http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density
http://nido05.wordpress.com/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/
Kepadatan adalah suatu kondisi dimana terdapat jumlah yang sangat banyak didalam suatu tempat, melebihi kapasitas tempat tersebut.
Menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:
1. Jumlah individu dalam sebuah kota,
2. Jumlah individu pada daerah sensus,
3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal,
4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,
5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.
Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:
1. kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang
2. kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1. Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
2. Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.
Akibat kepadatan tinggi
kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah sehingga dapat menimbulkan stress. Ada berbagai akibat yang dihasilkan dari kepadatan yang tinggi. Misalnya saja bila dilihat dari aspek kesehatan, yaitu munculnya sesak nafas, penekanan denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain. Selain itu, bisa juga dilihat dari aspek sosial, yaitu kenakalan remaja dan meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
1. Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang ma berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
3. Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 19840.
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
6. Kepadatan dengan perbedaan budaya
Budaya mayarakat kota dan masyarakat desa jelas berbeda. Jika dilihat dari mata pencahariannyapun berbeda. Di kota, banyak yang menjadi pengusaha, manager, pebisnis, dan lain-lain. Sedangkan di desa, sebagian besar dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pedagang.
Kepadatan penduduk di kota dan di desa pun berbeda. Jumlah penduduk di kota lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di desa. Sehingga, di kota banyak sekali terdapat polusi udara, hampir di setiap ruas jalan terdapat rumah atau bangunan-bangunan.
Sumber :
http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density
http://nido05.wordpress.com/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.34
Tidak ada komentar:
Langganan:
Postingan (Atom)