Anggi Perina Prislita
10508021
4PA01
Tugas 2
SPSS (Statistical Product and Service Solutions)
Saat ini telah banyak paket program pengolahan angka yang digunakan untuk memudahkan analisis data. Salah satunya program yang paling banyak diminati oleh para peneliti adalah program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) for Windows. Program ini merupakan salah satu program data statistic yang digunakan pada penelitian-penelitian. Misalnya saja SPSS versi 17,0 yang dapat mengolah data aplikasi statistika lanjut dengan model Parametik seperti compare means, model korelasi, regresi linear, dan lain-lain, serta model Non-Parametik seperti chi square, wilcoxon, kendall tau, dan lain-lain.
Program SPSS sendiri perkembangannya cukup pesat. Awal pertama di Indonesia mulai banyak dikenal publik sejak SPSS versi 7,00, sekarang program SPSS for windows ini sudah mencapai versi 18,0.
• Cara Kerja SPSS
Untuk memahami cara kerja software SPSS, berikut dikemukakan kaitan antara cara kerja komputer dengan SPSS dalam mengolah data.
Komputer
Pada dasarnya computer berfungsi mengolah data menjadi informasi yang berarti. Data yang akan diolah dimasukan sebagai input, kemudian dengan prosess pengolahandata oleh komputer dihasilkan output yang berupa informasi untuk kegunaan lebih lanjut.
Input data —> Proses Komputer —-> Output data
Statistik
Statistik juga mempunyai fungsi mirip dengan computer, yaitu mengolah data dengan perhitungan statistic tertentu, menjadi informasi yang berarti.
Input data —> Proses statistik —> Output data
SPSS
Proses pengolahan data pada SPSS juga mirip dengan kedua proses diatas hanya disini ada variasi dalam penyajian input dan output data.
Input data dengan data editor —> Proses dengan data edit –> Output data dengan viewer.
Penjelasan Proses Statistik dengan SPSS :
Data yang akan diproses dimasukan lewat menu DATA EDITOR yang otomatis muncul di layar SPSS ketika dijalankan.
Data yang telah diinput kemudian diproses, juga lewat menu DATA EDITOR.
hasil pengolahan data muncul dilayar (window) yang lain dari SPSS yaitu VIEWER. Output SPSS bisa berupa teks/tulisan, tabel, atau grafik.
Dengan demikian, dalam SPSS ada berbagai macam Window yang tampil sekaligus jika memang akan dilakukan berbagai proses diatas. Namun yang pasti harus digunakan DATA EDITOR sebagai bagian input dan proses data, serta VIEWER yang merupakan tempat output pengolahan data.
Kelebihan SPSS :
1. SPSS mampu mengakses data dari berbagai macam format data yang tersedia seperti dBase, Lotus, Access, text file, spreadsheet, bahkan mengakses database melalui ODBC (Open Data Base Connectivity) sehingga data yang sudah ada, dalam berbagai macam format, bisa langsung dibaca SPSS untuk dianalisis.
2. SPSS memberi tampilan data yang lebih informatif, yaitu menampilkan data sesuai nilainya (menampilkan label data dalam kata-kata) meskipun sebetulnya kita sedang bekerja menggunakan angka-angka (kode data). Misalnya untuk field Jenis Kelamin, kode angka yang digunakan adalah 1 untuk “pria” dan 2 untuk “wanita”, maka yang akan muncul di layar adalah label datanya, yaitu “pria” dan “wanita”.
3. SPSS memberikan informasi lebih akurat dengan memperlakukan missing data secara tepat, yaitu dengan memberi kode alasan mengapa terjadi missing data. Misalnya karena pertanyaan tidak relevan dengan kondisi responden, pertanyaan tidak dijawab, atau karena memang pertanyaannya yang harus dilompati.
4. SPSS melakukan analisis yang sama untuk kelompok-kelompok pengamatan yang berbeda secara sekaligus hanya dalam beberapa mouse click saja. Contohnya :
a. mengetahui nilai minimum, maksimum dan rata-rata penjualan per kuartal per wilayah penjualan secara bersamaan pada masing-masing kelompok produk.
b. mengetahui hal-hal yang signifikan berpengaruh terhadap volume penjualan (apakah kelompok umur konsumen, tingkat pendidikan, jenis kelamin, besar pengeluaran per bulan, dll) pada masing-masing wilayah penjualan.
5. SPSS mampu merangkum data dalam format tabel multidimensi (crosstabs), yaitu beberapa field ditabulasikan secara bersamaan. Contohnya :
a. tabel persentase jumlah responden dari beberapa kelompok umur terhadap beberapa kategori produk perawatan rambut.
b. tabel persentase jumlah responden dari beberapa tingkat pendidikan terhadap beberapa partai politik pilihan menurut beberapa wilayah pemilihan umum.
6. Tabel multidimensi SPSS sifatnya interaktif. Kolom tabel bisa dirubah menjadi baris tabel dan sebaliknya. Semua nilai dalam sel-sel tabel akan disesuaikan secara otomatis. Hal ini sangat memudahkan pekerjaan eksplorasi data.
Beberapa keunggulan di atas hanyalah sebagian dari seluruh keunggulan yang dimiliki SPSS dibandingkan dengan spreadsheet. Masih ada banyak keunggulan lainnya. Bahkan, semua pekerjaan di atas dilakukan dengan bantuan dialog box, tanpa perlu mengerti bahasa pemrograman! Sangat user fri.
Sumber:
http://kevnugjr.wordpress.com/kelebihan-spss/
http://repository.gunadarma.ac.id/439/1/D51-D60_Hendro_P.pdf
http://www.scribd.com/doc/57747839/BAB-III
Rabu, 02 November 2011
tugas 2
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.06
Tidak ada komentar:
Senin, 03 Oktober 2011
Tugas 1
1. Jelaskan tentang sejarah internet !
Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat di tahun 1969, melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), di mana mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX, kita bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terhingga melalui saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan akhirnya semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol). Tujuan awal dibangunnya proyek itu adalah untuk keperluan militer. Pada saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar dengan menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat, yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan. Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan 4 situs saja yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu di tahun 1969, dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung, sehingga membuat ARPANET kesulitan untuk mengaturnya. Oleh sebab itu ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk keperluan militer dan "ARPANET" baru yang lebih kecil untuk keperluan non-militer seperti, universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Internet
2. Apa yang kalian ketahui tentang bandwith, ISP, FTP ?
Bandwidth adalah besaran yang menunjukkan seberapa banyak data yang dapat dilewatkan dalam koneksi melalui sebuah network. Lebar pita atau kapasitas saluran informasi. Kemampuan maksimum dari suatu alat untuk menyalurkan informasi dalam satuan waktu detik.
sumber : http://www.g-excess.com/4471/arti-dan-pengertian-bandwidth/
sumber : http://www.g-excess.com/4471/arti-dan-pengertian-bandwidth/
ISP (Internet Service Provider) adalah perusahaan atau badan usaha yang menjual koneksi internet atau sejenisnya kepada pelanggan. ISP awalnya sangat identik dengan jaringan telepon, karena dulu ISP menjual koneksi atau access internet melalui jaringan telepon. Seperti salah satunya adalah telkomnet instant dari Telkom.
sumber : http://pratiwiastuti.blogspot.com/2
sumber : http://pratiwiastuti.blogspot.com/2
FTP (File Transfer Protocol) adalah, Program yang digunakan pada komputer berbasis Windows untuk mentransfer file (software atau dokumen) pada Internet.
sumber : http://www.g-excess.com/293/pengertian-ftp-file-transfer-protocol-adalah/
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
04.44
Tidak ada komentar:
Kamis, 14 April 2011
Stres Lingkungan
STRES LINGKUNGAN
Menurut Lazzarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengartikan stress lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan, dan kemarahan yang dimilikinya.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang ribut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Baum, Singer, dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stress lingkungan dalam tiga faktor, yaitu:
1. stressor fisik (misalnya: suara)
2. penerimaan individu terhadap stressor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3. dampak stressor pada organisme (dampak fisiologis).
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stress di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
1. stress karena teman kerja
2. stress karena anak-anak
3. stress karena pengaturan tempat tinggal setempat
4. tekanan-tekanan lingkungan.
Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah meningkat, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stress akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stress.
Di dalam membahas hubungan manusia dengan lingkungan binaan, maka pada lingkungan binaan tersebut diharapkan akan didapat ungkapan-ugnkapan arsitektur berupa pola-pola yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsepsi bangunan. Perubahan-perubahan konsepsi pada bangunan itu terjadi pada perilaku penghuni terhadap tata atur yang telah tercipta pada bangunan itu dahulunya. Akibat dari pergeseran perlakuan atau aktivitas dari penghuni menakibatkan kerancuan visual dan tata atur bangunan tersebut.
Sumber :
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gundarma.
Menurut Lazzarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengartikan stress lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan, dan kemarahan yang dimilikinya.
Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang ribut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga.
Baum, Singer, dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stress lingkungan dalam tiga faktor, yaitu:
1. stressor fisik (misalnya: suara)
2. penerimaan individu terhadap stressor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor)
3. dampak stressor pada organisme (dampak fisiologis).
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stress di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
1. stress karena teman kerja
2. stress karena anak-anak
3. stress karena pengaturan tempat tinggal setempat
4. tekanan-tekanan lingkungan.
Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah meningkat, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stress akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stress.
Di dalam membahas hubungan manusia dengan lingkungan binaan, maka pada lingkungan binaan tersebut diharapkan akan didapat ungkapan-ugnkapan arsitektur berupa pola-pola yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsepsi bangunan. Perubahan-perubahan konsepsi pada bangunan itu terjadi pada perilaku penghuni terhadap tata atur yang telah tercipta pada bangunan itu dahulunya. Akibat dari pergeseran perlakuan atau aktivitas dari penghuni menakibatkan kerancuan visual dan tata atur bangunan tersebut.
Sumber :
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gundarma.
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.48
Tidak ada komentar:
Kamis, 07 April 2011
Stres
Stres
I. Pengertian Stres
Sarafinio (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respons, dan proses.
1. Stimulus
Kita dapat mengetahui hal ini dari pilihan seseorang terhadap sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan/situasi dan peristiwa tertentu. Keadaan dan peristiwa yang dirasakan yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor.
2. Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stressor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan yaitu : komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. komponen psikologis, seperti : perilaku, pola berpikir, dan emosi.
b. Komponen fisiologis, seperti : detak jantung, sariawan, keringat, dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stressor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan.
II. Model Stres
Cox (dalam Prabowo, 1998) mengemukakan tiga model stress yaitu : Respons-based model, Stimulus- based model, dan Interaction model.
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik individu ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian.
(3) Uncontrollability
Uncontrollalibility adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas atau tidak bergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari respons-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengatasi.
II. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang debedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psicjological stress. Systemic stress disefinisikan oleh Selye (dalam Prabowo, 1998) sebagai respon nonspesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress.
Sumber :
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Penerbit Gunadarma
I. Pengertian Stres
Sarafinio (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu : stimulus, respons, dan proses.
1. Stimulus
Kita dapat mengetahui hal ini dari pilihan seseorang terhadap sumber atau penyebab ketegangan berupa keadaan/situasi dan peristiwa tertentu. Keadaan dan peristiwa yang dirasakan yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor.
2. Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stressor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan yaitu : komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. komponen psikologis, seperti : perilaku, pola berpikir, dan emosi.
b. Komponen fisiologis, seperti : detak jantung, sariawan, keringat, dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3. Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stressor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan.
II. Model Stres
Cox (dalam Prabowo, 1998) mengemukakan tiga model stress yaitu : Respons-based model, Stimulus- based model, dan Interaction model.
a. Response-based model
Stress model ini mengacu sebagai sekelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit.
b. Stimulus-based model
Model stress ini memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimuli stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah sebagai berikut :
(1) Overload
Karakteristik individu ini diukur ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.
(2) Conflict
Konflik diukur ketika sebuah stimulus secara simultan membangkitkan dua atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian.
(3) Uncontrollability
Uncontrollalibility adalah peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang bebas atau tidak bergantung pada perilaku dimana pada situasi ini menunjukkan tingkat stress yang tinggi.
c. Interactional model
Model ini merupakan perpaduan dari respons-based model dan stimulus-based model. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kemampuan mengatasi.
II. Jenis Stres
Holahan (1981) menyebutkan jenis stress yang debedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psicjological stress. Systemic stress disefinisikan oleh Selye (dalam Prabowo, 1998) sebagai respon nonspesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stress.
Sumber :
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Penerbit Gunadarma
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.45
Tidak ada komentar:
Rabu, 30 Maret 2011
Privasi
I. Pengertian Privacy
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi privasi, yaitu :
1. Faktor personal. Marshal (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memililih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa.
2. Faktor situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
3. Faktor budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbaai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku iban di Kalimantan. Yours pada orang Gypsy dan Geertz pada orang jawa dan bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Prabowo, Hendra. 1998. Arsitektur Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
Faktor-faktor yang mempengaruhi privasi, yaitu :
1. Faktor personal. Marshal (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memililih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa.
2. Faktor situasional. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
3. Faktor budaya. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbaai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku iban di Kalimantan. Yours pada orang Gypsy dan Geertz pada orang jawa dan bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).
Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Prabowo, Hendra. 1998. Arsitektur Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
04.53
Tidak ada komentar:
Jumat, 25 Maret 2011
Teritorialitas
I. Pengertian Teritorial
Holahan (dalam Iskandar, 1990) mengungkap bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
II. Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987) terdapat empat karakteristik dari teritorialitas.yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat,
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu,
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitifdan kebutuhan – kebutuhan estetika.
Ada empat tipe teritore menurut Hussein Al-Sharkawy (dalam Lang, 1987), yaitu :
1. Attached Territori adalah ‘gelembung ruang’
2. Central Territory, seperti rumah seseorang, ruang kelas, ruang kerja, dimana kesemuanya itu kurang memiliki personalisasi
3. Supporting Territory adalah ruang-ruang yang bersifat semi privat dan semi public.
4. Peripheral Territory adalah ruang public yaitu area-area yang dipakai oleh individu-individu atau suatu kelompok tapi tidak dapt memiliki dan menuntutnya.
Atman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :
1. Teritorialitas Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadapteritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknyadan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
Ruang kerja, ruang tidur
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadapteritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknyadan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
Ruang kerja, ruang tidur
2. Teritori Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lainyang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
kantor, toilet
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lainyang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
kantor, toilet
3. Teritorial Umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
ruang kuliah, bangku Bus. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga : stalls, turns, dan use space.
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :
ruang kuliah, bangku Bus. Berdasarkan pemakaiannya, teritorial umum dapat dibagi menjadi tiga : stalls, turns, dan use space.
· Stalls merupakan suatu tempat yang disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu. Contoh : kamar hotel, kamar asrama, ruangan kerja, dan lain-lain.
· Turns mirip dengan stalls hanya berbeda dalam jangka waktu penggunaan. Turns dipakai orang dalam waktu singkat, misalnya antrian karcis, antrian bensin, dan lain-lain.
· Use space adalah teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke kedudukan objek yang sedang diamati seseorang. Contoh : seseorang yang sedang mengamati lukisan di pameran, maka ruang antara objek lukisan dengan orang yang sedang mengamati tersebut adalah ‘use space’.
III. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Smith (dalam Gifford, 1987) melakukan studi tentang penggunaan pantai pada orang-orang Perancis dan Jerman. Studi ini memiliki pola yang sama dengan studi lebih awal di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Edney dan Jordan-Edney (dalam Gifford, 1987). Hasil dari kedua penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pantai antara orang Perancis, Jerman, dan Amerika membuktikkan suatu hal yang kontras. Smith menemukan bahwa dari ketiga budaya ini memiliki persamaan dari hal respek. Sebagai contoh, pada ketiga kelompok menuntut ruang yang lebih kecil setiap orang. Kelompok dibagi berdaarkan jenis kelamin, menuntut ruang yang lebih kecil, Dimana wanita menuntut ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan pria. Sedangkan untuk respek, mereka memiliki kesulitan dengan konsep teritorialitas yang mengatakan bahwa “pantai untuk semua orang”. Orang Jerman membuat lebih banyak tanda. Mereka seringkali menegakkan penghalang benteng pasir, suatu tanda untuk menyatakan bahwa area pantai disediakan untuk antara dua hari tertentu dan merupakan tanda yang disediakan untuk kelompok tertentu. Akhirnya, ukuran teritorialitas hanya berbeda diantara ketiga budaya tersebut. Walaupun dengan bentuk yang dikatakan sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritorialitas yang lebih besar, tetapi pada ketiga budaya maupun dalam pembagian kelompok-kelompoknya menandai teritorialitas dengan suatu lingkaran yang sama. Orang Jerman lebih sering menuntut teritori yang lebih besar, tetapi dari ketiga budaya tersebut secara individu menandai teritorial dalam bentuk elips dan secara kelompok dalam bentuk lingkaran.
Sumber :
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
05.40
Tidak ada komentar:
Jumat, 18 Maret 2011
Ruang Personal
I. Pengertian Privacy
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
II. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975): pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Dimana beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai Ruang Personal itu sendiri, diantaranya,
a. Menurut Sommer
Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. (dalam Altman, 1975)
b. Goffman
menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri. (dalam Altman, 1975)
Selain itu ada beberapa definisi ruang personal yang diambil secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
1. Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
3. Pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Di bawah ini merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi ruang personal, diantaranya yaitu :
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang Ruang personal ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
III. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Sumber :
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/ (Disarikan dari: Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/04/privacy-personal-space-dan-teritorial.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Setiap individu butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain. Namun di sisilain, mereka juga mambutuhkan ‘privacy’ dalam kehidupan mereka.
Psikologi mengartikan ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan di sampaikan. Dengan perkataan lain, ‘privacy’ dalam psikologi belum tentusampaikan atau dikomunikasikan tentang dirinya sendiri dan kepada siapa akan disampaikan akan tercipta hanya dengan adanya batasan-batasan fisik saja. Psikologipun mengklasifikasikan ‘privacy’ ini menjadi: ‘solitude’ yang berarti kesunyian, ‘intimacy’ atau keintiman, ‘anonymity’ atau tanpa identitas, dan ‘reserve’ yang berarti kesendirian.
Privacy memiliki 2 jenis penggolongan,
1. Golongan yang berkeinginan untuk tidak diganggu secara fisik, yaitu :
a. Keinginan untuk menyendiri (solitude)
Misalnya ketika seseorang sedang dalam keadaan sedih dia tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
b. Keinginan untuk menjauhkan dari pandangan atau gangguan suara tetangga / lalu lintas (seclusion)
Misalnya saat seseorang ingin menenangkan pikirannya , ia pergi ke daerah pegunungan untuk menjauhkan diri dari keramaian kota
c. Keinginan untuk intim dengan orang-orang tertentu saja, tetapi jauh dari semua orang (intimacy)
Misalnya orang yang pergi ke daerah puncak bersama orang-orang terdekat seperti keluarga.
2. Golongan yang berkeinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu.
a. Keinginan untuk merahasiakan jati diri (anaonimity)
b. Keinginan untuk tidak mengungkapkn diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve)
c. Keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring)
Dalam hubungannya dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat-saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tunggu). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengkontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku.
II. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu.
Beberapa karakterisitik ruang personal menurut Sommer (dalam altman,1975): pertama, batas diri yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Kedua, ruang personal itu tidak berupa pagar yang tampak mengelilingi seseorang dan terlerak di suatu tempat tetapi batas itu melekat pada diri dan dibawa kemana-mana. Ketiga, ruang personal adalah batas kawasan yang dinamis, yang berubah-ubah besarnya sesuai dengan waktu dan situasi. Keempat, pelanggaran ruang personal ini akan dirasakan sebagai ancaman sehingga daerah ini dikontrol dengan kuat.
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Dimana beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya mengenai Ruang Personal itu sendiri, diantaranya,
a. Menurut Sommer
Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. (dalam Altman, 1975)
b. Goffman
menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri. (dalam Altman, 1975)
Selain itu ada beberapa definisi ruang personal yang diambil secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
1. Ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri.
3. Pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Di bawah ini merupakan unsur-unsur yang mempengaruhi ruang personal, diantaranya yaitu :
1. Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2. Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada kaitannya dengan kemandirian. Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi. Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi. Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3. Kepribadian,
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4. Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang Ruang personal ini. Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5. Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan. Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6. Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik. Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing. Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7. Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda.
8. Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9. Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10. Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik. Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil. Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan.
11. Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis
III. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Sumber :
http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/ (Disarikan dari: Environmental Psychology, Principles and Practices (Robert Gifford, 1997)
http://ronggosusenoengg.blogspot.com/2010/04/privacy-personal-space-dan-teritorial.html
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
06.05
Tidak ada komentar:
Senin, 14 Maret 2011
kesesakan lingkungan
Kesesakan Lingkungan
Menurut Atman (1975) kesesakan merupakan suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
Sears, dkk. (1994) mengatakan kesesakan sebagai perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subyektif.
Dari dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesesakan merupakan suatu kondisi yang bersifat subyektif, di mana di dalamnya terdapat suatu interaksi antar individu dalam keadaan yang sempit.
Di bawah ini merupakan teori kesesakan, antara lain :
1. Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
3. Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu : personal, social, dan fisik.
a. Faktor Personal
Faktor ini terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control, budaya, pengalaman dan proses adaptasi serta jenis kelamin dan usia.
1) Kontrol Pribadi dan Locus of Control
Menurut Schopler dan Stokol (dalam Shaw dan Constanzo, 1985) kesesakan yang dialami manusia adalah pengalaman yang termasuk dalam stress psikologis, dimana stress tersebut adalah konsekuensi dari rasa hilangnya kontrol atas aturan-aturan yang ada dalam ruang termasuk jarak interpersonal.
Perbedaan individu dalam bertindak di kepadatan tinggi dipengaruhi oleh tingkat kontrol yang dimiliki. Suatu penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang meningkatkan kontrol diri lebih tinggi dapat mengurangi kesesakan dan lebihj sedikit merasakan dampak negatifnya (Langer dan Saegert dalam Bell, 2001).
2) Budaya, Pengalaman, dan Proses Adaptasi
Masyarakat yang sudah sangat lama dalam mengatasi dampak kesesakan tinggi dengan baik adalah budaya masyarakat Cina. Dimana masyarakat Cina dapat menjadi sangat akrab dan nyaman jika berada di lingkungan berkepadatan tinggi dan ketika diberi pilihan lebih memilih tinggal di kondisi yang kurang padat (Aiello dan Thompson dalam Bell, 2001).
Perbedaan reaksi individu dalam kepadatan tinggi tergantung pada tingkat kemampuan adaptasi individu yang berasal dari pengalaman masa lalu di lingkungan berkepadatan tinggi (Bell, 2001).
3) Jenis Kelamin dan Usia
Freedman (dalam Bell, 2001) menemukan bahwa laki-laki mengalami mood yang lebih negative dalam kondisi ruang yang berkepadatan tinggi daripada ruang yang berkepadatan rendah. Ini dikarenakan laki-laki membutuhkan ruang personal yeng lebih besar, lebih menyukai kompetisi dibandingkan wanita yang lebih menyukai berafiliasi dalam kehidupan social (Deaux dan Lafrance dalam Bell, 2001).
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan kesesakan. Faktor-faktor social tersebut menurut Gifford (1987) adalah :
1) Kehadiran dan Perilaku Orang Lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
2) Formasi Koalisi
Mningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Misalnya, penambahan teman sekamar dalam asrama dapat memunculkan keadaan negative, seperti stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol yang disebabkan karenaa terbentuknya koalisi disatu pihak dan satu orang yang terisolasi di pihak lain.
3) Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang tersebut.
4) Informasi yang Tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan.
c. Faktor Fisik
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi kesesakan adalah :
1) Besarnya Skala Lingkungan
Menurut Stokol (dalam Deaux & Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa teori kesesakan mempunyai intensitas yang sangat kuat dan sulit dipecahkan dalam lingkungan primer seperti tempat tinggal atau lingkungan kerja, dimana individu banyak menghabiskan waktu berhubungan dengan individu lain atas dasar pribadi.
Adapun pengaruh kesesakan terhadap perilaku yaitu terganggunya aktivitas iindividu, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya.
Pengaruh negative dari kesesakan yaitu terbentuk dalam penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, agresivitas meningkat, bahkan juga gangguan mental.
Pengaruh fisiologisnya yaitu meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius.
Sedangkan, pengaruh dari proses sosialnya yaitu menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan berkurangnya intensitas hubungan sosial.
Sumber :
http://guea31.wordpress.com/2011/03/04/teori-kesesakan/
http://elearning.gunadarma.ac.id/
Menurut Atman (1975) kesesakan merupakan suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil.
Sears, dkk. (1994) mengatakan kesesakan sebagai perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subyektif.
Dari dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesesakan merupakan suatu kondisi yang bersifat subyektif, di mana di dalamnya terdapat suatu interaksi antar individu dalam keadaan yang sempit.
Di bawah ini merupakan teori kesesakan, antara lain :
1. Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yangditerimaindividu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1 979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupur. kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial. Wicker(l976) mengemukakan teorinya tentang n~anni~lTge.o ri ini berdiri ataspandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana ha1 itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.
3. Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesaic bila kepadatan atau kcndisi lain yarlg berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu : personal, social, dan fisik.
a. Faktor Personal
Faktor ini terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control, budaya, pengalaman dan proses adaptasi serta jenis kelamin dan usia.
1) Kontrol Pribadi dan Locus of Control
Menurut Schopler dan Stokol (dalam Shaw dan Constanzo, 1985) kesesakan yang dialami manusia adalah pengalaman yang termasuk dalam stress psikologis, dimana stress tersebut adalah konsekuensi dari rasa hilangnya kontrol atas aturan-aturan yang ada dalam ruang termasuk jarak interpersonal.
Perbedaan individu dalam bertindak di kepadatan tinggi dipengaruhi oleh tingkat kontrol yang dimiliki. Suatu penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang meningkatkan kontrol diri lebih tinggi dapat mengurangi kesesakan dan lebihj sedikit merasakan dampak negatifnya (Langer dan Saegert dalam Bell, 2001).
2) Budaya, Pengalaman, dan Proses Adaptasi
Masyarakat yang sudah sangat lama dalam mengatasi dampak kesesakan tinggi dengan baik adalah budaya masyarakat Cina. Dimana masyarakat Cina dapat menjadi sangat akrab dan nyaman jika berada di lingkungan berkepadatan tinggi dan ketika diberi pilihan lebih memilih tinggal di kondisi yang kurang padat (Aiello dan Thompson dalam Bell, 2001).
Perbedaan reaksi individu dalam kepadatan tinggi tergantung pada tingkat kemampuan adaptasi individu yang berasal dari pengalaman masa lalu di lingkungan berkepadatan tinggi (Bell, 2001).
3) Jenis Kelamin dan Usia
Freedman (dalam Bell, 2001) menemukan bahwa laki-laki mengalami mood yang lebih negative dalam kondisi ruang yang berkepadatan tinggi daripada ruang yang berkepadatan rendah. Ini dikarenakan laki-laki membutuhkan ruang personal yeng lebih besar, lebih menyukai kompetisi dibandingkan wanita yang lebih menyukai berafiliasi dalam kehidupan social (Deaux dan Lafrance dalam Bell, 2001).
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan kesesakan. Faktor-faktor social tersebut menurut Gifford (1987) adalah :
1) Kehadiran dan Perilaku Orang Lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain.
2) Formasi Koalisi
Mningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Misalnya, penambahan teman sekamar dalam asrama dapat memunculkan keadaan negative, seperti stress, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol yang disebabkan karenaa terbentuknya koalisi disatu pihak dan satu orang yang terisolasi di pihak lain.
3) Kualitas Hubungan
Kesesakan menurut penelitian sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang tersebut.
4) Informasi yang Tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan.
c. Faktor Fisik
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi kesesakan adalah :
1) Besarnya Skala Lingkungan
Menurut Stokol (dalam Deaux & Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa teori kesesakan mempunyai intensitas yang sangat kuat dan sulit dipecahkan dalam lingkungan primer seperti tempat tinggal atau lingkungan kerja, dimana individu banyak menghabiskan waktu berhubungan dengan individu lain atas dasar pribadi.
Adapun pengaruh kesesakan terhadap perilaku yaitu terganggunya aktivitas iindividu, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya.
Pengaruh negative dari kesesakan yaitu terbentuk dalam penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, agresivitas meningkat, bahkan juga gangguan mental.
Pengaruh fisiologisnya yaitu meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius.
Sedangkan, pengaruh dari proses sosialnya yaitu menurunnya sikap gotong royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan berkurangnya intensitas hubungan sosial.
Sumber :
http://guea31.wordpress.com/2011/03/04/teori-kesesakan/
http://elearning.gunadarma.ac.id/
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.04
Tidak ada komentar:
Kamis, 03 Maret 2011
Kepadatan
Kepadatan
Kepadatan adalah suatu kondisi dimana terdapat jumlah yang sangat banyak didalam suatu tempat, melebihi kapasitas tempat tersebut.
Menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:
1. Jumlah individu dalam sebuah kota,
2. Jumlah individu pada daerah sensus,
3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal,
4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,
5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.
Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:
1. kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang
2. kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1. Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
2. Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.
Akibat kepadatan tinggi
kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah sehingga dapat menimbulkan stress. Ada berbagai akibat yang dihasilkan dari kepadatan yang tinggi. Misalnya saja bila dilihat dari aspek kesehatan, yaitu munculnya sesak nafas, penekanan denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain. Selain itu, bisa juga dilihat dari aspek sosial, yaitu kenakalan remaja dan meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
1. Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang ma berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
3. Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 19840.
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
6. Kepadatan dengan perbedaan budaya
Budaya mayarakat kota dan masyarakat desa jelas berbeda. Jika dilihat dari mata pencahariannyapun berbeda. Di kota, banyak yang menjadi pengusaha, manager, pebisnis, dan lain-lain. Sedangkan di desa, sebagian besar dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pedagang.
Kepadatan penduduk di kota dan di desa pun berbeda. Jumlah penduduk di kota lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di desa. Sehingga, di kota banyak sekali terdapat polusi udara, hampir di setiap ruas jalan terdapat rumah atau bangunan-bangunan.
Sumber :
http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density
http://nido05.wordpress.com/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/
Kepadatan adalah suatu kondisi dimana terdapat jumlah yang sangat banyak didalam suatu tempat, melebihi kapasitas tempat tersebut.
Menurut Altman (1975) kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi:
1. Jumlah individu dalam sebuah kota,
2. Jumlah individu pada daerah sensus,
3. Jumlah individu pada unit tempat tinggal,
4. Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal,
5. Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.
Holahan (1982) menggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu:
1. kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang
2. kepadatan social (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
1. Kepadatan dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan didalam rumah,kamar;
2. Kepadatan luar (outside desity) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap stuktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang tinggi atau kepadatan rendah.
Akibat kepadatan tinggi
kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan berbagai masalah sehingga dapat menimbulkan stress. Ada berbagai akibat yang dihasilkan dari kepadatan yang tinggi. Misalnya saja bila dilihat dari aspek kesehatan, yaitu munculnya sesak nafas, penekanan denyut jantung, tekanan darah, dan lain-lain. Selain itu, bisa juga dilihat dari aspek sosial, yaitu kenakalan remaja dan meningkatnya tindak kejahatan atau kriminalitas (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
1. Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang ma berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
3. Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 19840.
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982).
6. Kepadatan dengan perbedaan budaya
Budaya mayarakat kota dan masyarakat desa jelas berbeda. Jika dilihat dari mata pencahariannyapun berbeda. Di kota, banyak yang menjadi pengusaha, manager, pebisnis, dan lain-lain. Sedangkan di desa, sebagian besar dari masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, dan pedagang.
Kepadatan penduduk di kota dan di desa pun berbeda. Jumlah penduduk di kota lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk di desa. Sehingga, di kota banyak sekali terdapat polusi udara, hampir di setiap ruas jalan terdapat rumah atau bangunan-bangunan.
Sumber :
http://lcbello.blogspot.com/2010/05/kepadatan-density
http://nido05.wordpress.com/masyarakat-pedesaan-dan-masyarakat-perkotaan/
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
07.34
Tidak ada komentar:
Jumat, 25 Februari 2011
Memahami Ambient Condition dan Architectural Features
Memahami Ambient Condition dan Architectural Features
Sebelumnya akan dibahas mengenai arti dari Ambient Condition dan Architectural Features. Ambient Condition adalah kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya atau penerangan, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban. Sedangkan Architectural features mencakup setting-setting yang bersifat permanen. Misalnya dekorasi suatu ruangan, seperti konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta misalnya tempat parkir yang sempit menimbulkan kejengkelan dari para tenaga kerja yang memiliki kendaraan dan para tamu perusahaan, yang dibawa kedalam pekerjaannya sehingga dapat merugikan perusahaan.
Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga. Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat tentang pengaruh dari kantor yang dirancang seperti pemandangan alam. Kantornya terdiri dari ruangan yang sangat luas. Tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan ke dalam kamar-kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan ke dalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon pendek dan tanaman, kasa jendela yang rendah, lemari-lemari pendek, rak-rak buku. Kantor-kantor ‘pemandangan alam’ ini dikatakan melancarkan komunikasi dan alur kerja. Di samping itu, keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerja sama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara manajemen dan karyawan.
Ada juga factor lain yang mempengaruhi pekerjaan, yaitu pencahayaan. Pencahayaan termasuk ke dalam ambient condition. Untuk pekerjaan tertentu diperlukan kadar cahaya tertentu sebagai penerangan. Pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kejelian mata, seperti memperbaiki jam tangan, perakitan elektronika, menuntut kadar cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu memerlukan penglihatan yang tajam.
Factor lain dari pencahayaan ialah distribusi dari cahaya dalam kamar atau daerah kerja. Pengaturan yang ideal adalah jika cahaya dapat didistribusikan secara merata pada keseluruhan lapangan visual. Memberikan cahaya penerangan pada suatu daerah kerja yang lebih tinggi kadar cahayanya daripada daerah yang mengelilinginya akan menimbulkan kelelahan mata (eyestrain) setelah jangka waktu tertentu.
Suyano (1985) secara rinci menyarankan apa yang ahrus diperhatikan agar silau di ruang tamu, kantor, ruang kelas dan ruang kerja lainnya dapat dihindari. Berikut ini anjuran-anjurannya :
1. Jangan ada sumber cahaya yang ditempatkan pada bidang visual dari operatoe.
2. Sumber sinar yang tidak tersaring, jangan dipakai di ruang kerja.
3. Penyaringan harus demikian rupa hingga rata-rata terangnya tidak melebihi 0,3 Sb bagi penerangan umum dan 0,2 Sb bagi ruang kerja.
4. Sudut antara garis pandang horizontal dengan garis penghubung antara mata dan sumber cahaya harus lebih dari 30
5. Jika sudut terpaksa kurang dari 30, karena ruangan yang besar, lampunya harus disaring dan jika memakai lampu pendar, arah tabung harus mnyilang garis pandang.
6. Untuk menghndari silau karena pantulan, tempat kerja harus diletakkan sedemikian rupa hingga garis pandang yang paling sering dipakai jangan berhimpit dengan cahaya yang terpantul, dan bahwa area pantulan dengan kontras yang melebihi 1:0 jangan sampai terjadi pada bidang vsual.
7. Pemakaian perabot, mesin, papan wesel dan perkakas kerja yang berkilau-kilauan hendaknya dihindari.
Selain itu hal yang berkaitan dengan ambient condition yaitu warna. Banyak orang memberikan makna tinggi kepada penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat untuk ruangan-ruangan di rumah, di kantor, dan di pabrik. Mereka berpendapat bahwa penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat dapat meningkatkan produksi, menurunkan kesalahan, dan meningkatkan semangat kerja.
Warna Efek Jarak Efek Suhu Efek Psikis
Biru jauh sejuk Menenangkan
Hijau jauh Sangat sejuk Sangat menenangkan sampai netral
Merah Dekat panas Sangat mengusik dan terkesiap
Oranye Sangat dekat Sangat panas Merangsang
Kuning dekat Sangat panas Merangsang
Coklat Sangat dekat netral merangsang
Lembayung Sangat dekat sejuk Agresif, terkesiap Melesukan
Hal lain yang termasuk dalam ambient condition yaitu sound atau suara. Suara yang bising dapat mengganggu konsentrasi seseorang. Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang tidak diinginkan, yang mengganggu, yang menjengkelkan. Dalam kehidupan sekarang ini bising merupakan keluohan yang banyak didengar. Orang merasa kebisingan dengan banyaknya suara yang ditimbulkan oleh ramainya lalu lintas, oleh suara mesin, oleh kerasnya suara radio, TV, cassette recorder, dan sebagainya.
Akibat-akibat dari tingkat bising yang tinggi adalah :
1. Timbulnya perubahan fisiologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada orang-orang yang mendengar bising pada tingkat 95-110 desibel, terjadi penciutan dari pembuluh darah, perubahan detak jantung, dilatasi dai pupil-pupil mata. Penyempitan dari pembuluh darah tetao berlangsung beberapa waktu setelah tidak ada bising lagi dan mengubah persediaan darah untuk seluruh tubuh.
2. Adanya dampak fisiologis. Bising dapat mengganggu kesejahteraan emosional. Mereka yang bekerja dalam lingkungan yang ekstrem bising lebih agresif, penuh curiga, dan cepat jengkel dibandingkan dengan mereka yang bekerja dalam linhkungan yang lebih sepi.
Sebelumnya akan dibahas mengenai arti dari Ambient Condition dan Architectural Features. Ambient Condition adalah kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya atau penerangan, warna, kualitas udara, temperature dan kelembaban. Sedangkan Architectural features mencakup setting-setting yang bersifat permanen. Misalnya dekorasi suatu ruangan, seperti konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.
Di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta misalnya tempat parkir yang sempit menimbulkan kejengkelan dari para tenaga kerja yang memiliki kendaraan dan para tamu perusahaan, yang dibawa kedalam pekerjaannya sehingga dapat merugikan perusahaan.
Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga. Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat tentang pengaruh dari kantor yang dirancang seperti pemandangan alam. Kantornya terdiri dari ruangan yang sangat luas. Tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan ke dalam kamar-kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan ke dalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon pendek dan tanaman, kasa jendela yang rendah, lemari-lemari pendek, rak-rak buku. Kantor-kantor ‘pemandangan alam’ ini dikatakan melancarkan komunikasi dan alur kerja. Di samping itu, keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerja sama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara manajemen dan karyawan.
Ada juga factor lain yang mempengaruhi pekerjaan, yaitu pencahayaan. Pencahayaan termasuk ke dalam ambient condition. Untuk pekerjaan tertentu diperlukan kadar cahaya tertentu sebagai penerangan. Pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kejelian mata, seperti memperbaiki jam tangan, perakitan elektronika, menuntut kadar cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu memerlukan penglihatan yang tajam.
Factor lain dari pencahayaan ialah distribusi dari cahaya dalam kamar atau daerah kerja. Pengaturan yang ideal adalah jika cahaya dapat didistribusikan secara merata pada keseluruhan lapangan visual. Memberikan cahaya penerangan pada suatu daerah kerja yang lebih tinggi kadar cahayanya daripada daerah yang mengelilinginya akan menimbulkan kelelahan mata (eyestrain) setelah jangka waktu tertentu.
Suyano (1985) secara rinci menyarankan apa yang ahrus diperhatikan agar silau di ruang tamu, kantor, ruang kelas dan ruang kerja lainnya dapat dihindari. Berikut ini anjuran-anjurannya :
1. Jangan ada sumber cahaya yang ditempatkan pada bidang visual dari operatoe.
2. Sumber sinar yang tidak tersaring, jangan dipakai di ruang kerja.
3. Penyaringan harus demikian rupa hingga rata-rata terangnya tidak melebihi 0,3 Sb bagi penerangan umum dan 0,2 Sb bagi ruang kerja.
4. Sudut antara garis pandang horizontal dengan garis penghubung antara mata dan sumber cahaya harus lebih dari 30
5. Jika sudut terpaksa kurang dari 30, karena ruangan yang besar, lampunya harus disaring dan jika memakai lampu pendar, arah tabung harus mnyilang garis pandang.
6. Untuk menghndari silau karena pantulan, tempat kerja harus diletakkan sedemikian rupa hingga garis pandang yang paling sering dipakai jangan berhimpit dengan cahaya yang terpantul, dan bahwa area pantulan dengan kontras yang melebihi 1:0 jangan sampai terjadi pada bidang vsual.
7. Pemakaian perabot, mesin, papan wesel dan perkakas kerja yang berkilau-kilauan hendaknya dihindari.
Selain itu hal yang berkaitan dengan ambient condition yaitu warna. Banyak orang memberikan makna tinggi kepada penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat untuk ruangan-ruangan di rumah, di kantor, dan di pabrik. Mereka berpendapat bahwa penggunaan warna atau kombinasi warna yang tepat dapat meningkatkan produksi, menurunkan kesalahan, dan meningkatkan semangat kerja.
Warna Efek Jarak Efek Suhu Efek Psikis
Biru jauh sejuk Menenangkan
Hijau jauh Sangat sejuk Sangat menenangkan sampai netral
Merah Dekat panas Sangat mengusik dan terkesiap
Oranye Sangat dekat Sangat panas Merangsang
Kuning dekat Sangat panas Merangsang
Coklat Sangat dekat netral merangsang
Lembayung Sangat dekat sejuk Agresif, terkesiap Melesukan
Hal lain yang termasuk dalam ambient condition yaitu sound atau suara. Suara yang bising dapat mengganggu konsentrasi seseorang. Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang tidak diinginkan, yang mengganggu, yang menjengkelkan. Dalam kehidupan sekarang ini bising merupakan keluohan yang banyak didengar. Orang merasa kebisingan dengan banyaknya suara yang ditimbulkan oleh ramainya lalu lintas, oleh suara mesin, oleh kerasnya suara radio, TV, cassette recorder, dan sebagainya.
Akibat-akibat dari tingkat bising yang tinggi adalah :
1. Timbulnya perubahan fisiologis. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada orang-orang yang mendengar bising pada tingkat 95-110 desibel, terjadi penciutan dari pembuluh darah, perubahan detak jantung, dilatasi dai pupil-pupil mata. Penyempitan dari pembuluh darah tetao berlangsung beberapa waktu setelah tidak ada bising lagi dan mengubah persediaan darah untuk seluruh tubuh.
2. Adanya dampak fisiologis. Bising dapat mengganggu kesejahteraan emosional. Mereka yang bekerja dalam lingkungan yang ekstrem bising lebih agresif, penuh curiga, dan cepat jengkel dibandingkan dengan mereka yang bekerja dalam linhkungan yang lebih sepi.
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
05.52
Tidak ada komentar:
Kamis, 17 Februari 2011
cover
Konsep Diri pada Orang Tua yang Memiliki Anak Autis di dalam Masyarakat
USULAN PENELITIAN
Anggi Perina Prislita 10508021
3 PA 01
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Depok
2011
DAFTAR ISI
Hal
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………. 2
B. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………………………. 2
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………… 2
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………….. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….. 3
A. Konsep Diri……...……………………………………………………………………... 3
1. Pengertian Konsep Diri……...……………………………………………………… 3
2. Unsur-unsur Konsep Diri…………………………………………………………... 3
3. Konsep Diri Negatif dan Positif…………………………………………………... 3
B. Autis……...…………………………………………………………………………….. 4
1. Pengertian Autis……...…………………………………………………………….. 4
2. Karateristik Autis………………………………………….……………………..... 5
3. Penyebab Autis….…………………………………………………………………. 6
4. Terapi Autis………………..………………………………………………………. 8
C. Masyarakat…………………….………………………………………………………. 10
1. Pengertian Masyarakat…………………………………………………………….. 10
2. Unsur-unsur Masyarakat…………………………………………………………… 11
3. Kriteria Masyarakat yang Baik……………………………………………………. 11
BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... …………. 12
A. Pendekatan Penelitian……………………………………………………… …………. 12
B. Subjek Penelitian…………………………………………………………………….... 13
C. Tahap-Tahap Penelitian……………………………………………………………….. 14
D. Teknis Pengumpulan Data……………………………………………………………. 15
E. Alat Bantu Penelitian…………………………………………………………………. 21
F. Keakuratan Penelitian………………………………………………………………… 22
G. Teknik Analisis Data…………………………………………………………………. 23
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 26
USULAN PENELITIAN
Anggi Perina Prislita 10508021
3 PA 01
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
Depok
2011
DAFTAR ISI
Hal
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………. 2
B. Pertanyaan Penelitian…………………………………………………………………. 2
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………… 2
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………….. 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….. 3
A. Konsep Diri……...……………………………………………………………………... 3
1. Pengertian Konsep Diri……...……………………………………………………… 3
2. Unsur-unsur Konsep Diri…………………………………………………………... 3
3. Konsep Diri Negatif dan Positif…………………………………………………... 3
B. Autis……...…………………………………………………………………………….. 4
1. Pengertian Autis……...…………………………………………………………….. 4
2. Karateristik Autis………………………………………….……………………..... 5
3. Penyebab Autis….…………………………………………………………………. 6
4. Terapi Autis………………..………………………………………………………. 8
C. Masyarakat…………………….………………………………………………………. 10
1. Pengertian Masyarakat…………………………………………………………….. 10
2. Unsur-unsur Masyarakat…………………………………………………………… 11
3. Kriteria Masyarakat yang Baik……………………………………………………. 11
BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... …………. 12
A. Pendekatan Penelitian……………………………………………………… …………. 12
B. Subjek Penelitian…………………………………………………………………….... 13
C. Tahap-Tahap Penelitian……………………………………………………………….. 14
D. Teknis Pengumpulan Data……………………………………………………………. 15
E. Alat Bantu Penelitian…………………………………………………………………. 21
F. Keakuratan Penelitian………………………………………………………………… 22
G. Teknik Analisis Data…………………………………………………………………. 23
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 26
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
06.54
Tidak ada komentar:
Konsep Diri pada Orangtua yang Memiliki Anak Autis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kalangan masyarakat saat ini dapat dijumpai penderita autis terutama anak-anak. Terkadang, ada masyarakat yang mencelanya namun ada juga yang sangat prihatin dengan keadaan si penderita.
Penyakit autisme ini masih belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Sehingga, mereka belum paham mengenai penanganan yang tepat bagi penderita autis.
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autisme masa kanak-kanak ini dapat dikoreksi. Tatalaksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, sebaiknya jangan melebihi usia lima tahun karena diatas usia ini perkembangan otak anak akan sangan melambat. Usia paling ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahap paling cepat. Menurut Mudjito, autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Instilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Adapun ciri-ciri pada penderita autisme yaitu terganggunya Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju, kesulitan bermain dengan teman sebaya, tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah. Itulah sebagian dari ciri-ciri autism. (anonim, 2011)
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengungkap konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran mengenai konesep diri pada orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat lebih jauh mengenai konsep diri orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat, dan untuk mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan dan psikologi klinis. Karena psikologi lingkungan mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, psikologi klinis mengkaji tentang gangguan kesehatan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dan pembelajaran bagi penulis serta pembaca mengenai konsep diri pada orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Burke dan Sellin, konsep diri didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pengajaran atau kemampuan memberikan konsultasi kepada lingkungannya.
Menurut Pudjijogyanti (1985) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri (Burns dalam Mukhtar, 2003).
Dari keseluruhan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri atau gambaran seseorang mengenai dirinya dari berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial, dan psikologis, yang diperoleh dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan.
2. Unsur-unsur Konsep Diri
Menurut Wahyurini dan Mashum (2003) unsure-unsur konsep diri meliputi :
a. Penilaian diri merupakan pandangan diri kita terhadap :
1. Pengendalian keinginan dan dorongan dalam diri.
2. Suasana hati yang seang kita hayati seperti bahagia, sedih, atau cemas.
b. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerima penilaian lingkungan sosial pada diri kita.
c. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran :
1. Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi kelauarga atau peran lingkungan sosial kita.
2. Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis.
3. Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
3. Konsep Diri Negatif dan Positif
Rahmat (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) menyebutkan cirri-ciri orang yang memiliki konsep diri negative menurut Brook & Emert, yaitu :
a. Peka terhadap kritik.
b. Resonsif terhadap pujian.
c. Hiperkritits terhadap orang lain.
d. Merasa tidak disenangi oleh orang lain.
e. Pesimis terhadap kompetisi.
Menurut Brook & Emmert (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) cirri-ciri konsep diri positif adalah :
a. Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah.
b. Merasa setara dengan orang lain.
c. Menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
d. Menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai peraaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e. Mampu memperbaiki diri.
4. Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Hurlock (dalam Siahaan, 2005) konsep diri memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan psikologis.
a. Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari konsep individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelaminnya, arti penting tubuhnya dengan perilakunya dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuan, harga dirinya dan hubungan dengan orang lain.
B. Autis
1. Pengertian Autis
Autisma atau Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang Autisma atau autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah Autisma atau autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau ( Handojo, 2003 ).
Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.
2. Karateristik Autis
a. Hambatan dalam Berkomunikasi :
1. Anak mengalami keterlambatan bicara.
2. Sering menggunakan kata-kata tetapi tidak tepat secara konteks dan tidak ada hubungannya dengan arti kata tersebut secara lazim.
3. Menolak berbicara, atau berbicara sangat sedikit, misalnya ya atau tidak.
4. Sering mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
5. Menggunakan bahasa tubuh.
6. Hanya mampu berkomunikasi dalam waktu singkat.
7. Tidak menyukai stimuli pendengaran.
8. Sering melakukan gerakan aneh untuk stimulasi diri sendiri, misalnya dengan memukul-mukul kepala, dada, dan lain-lain.
b. Hambatan Sosial
1. Anak lebih suka menyendiri.
2. Bersikap dingin dan tidak memberi respon, misalnya tersenyum, tertawa, dan sebagainya.
3. Tidak menaruh perhatian pada keadaan sekitar dan lingkungannya.
4. Tidak tertarik dalam pertemanan dan relasi.
5. Tidak menyukai bermain bersama anak lain.
6. Tidak bereaksi terhadap isyarat.
7. Menolak menatap mata lawan bicaranya.
8. Bersosialisasi (berteman).
c. Hambatan Penginderaan
1. Sensitif terhadap stimuli panca indera, misalnya cahaya, suara, bau, dan rasa.
2. Sulit memproses dan memberi reaksi pada indrawi.
3. Mudah terganggu dengan situasi umum yang seharusnya normal, misalnya tangis bayi, mesin mobil, serangga, atau mesin printer.
d. Hambatan Motorik
1. Tidak bisa spontan dan refleks.
2. Tidak memiliki imajinasi dalam bermain.
3. Tidak bisa memerankan sesuatu atau terlibat dalam permainan yang bersifat pura-pura.
e. Hambatan Perilaku
1. Bisa sangat aktif atau sebaliknya.
2. Sering marah dan kesal tanpa alasan yang jelas.
3. Menaruh minat yang sangat tinggi dan obsesif terhadap suatu benda atau orang.
4. Sulit mengubah rutinitas, dan menuntut “kesamaan” dalam kebiasaan mereka.
5. Melakukan sesuatu yang diulang-ulang tanpa alasan yang jelas.
3. Penyebab Autis
Autisme memilki berbagai penyebab. Sebelumnya, akan diceritakan suatu kasus mengenai anak yang menderita autis.
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur satu tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.
Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini :
a. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
b. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
c. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
d. Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
e. Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.
4. Terapi Autisme
Bagaimana menangani anak penyandang autisme adalah sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Hal ini disebabkan kompleksnya treatment dan terapi pendidikan yang diketengahkan oleh para peneliti dan praktisi autis. Tidak ada prosedur standar, tetapi semua sepakat bahwa terapi harus dimulai sejak dini. Dimulainya terapi menyesuaikan dengan gejala yang timbul, mengingat autisme memiliki banyak sekali variasi gejala awal. Jadi, terapi tersebut diarahkan pada hambatan yang mula-mula dikenali. Beberapa terapi yang dikenal untuk penanganan autisme saat ini adalah sebagai berikut :
a. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah terapi dengan cara memberikan hadiah atau pujian (positive reinforcement) secara terprogram kepada penyandang autisme. Terapi ini paling populer digunakan di Indonesia.
b. Terapi Wicara.
Terapi wicara adalah terapi untuk mengatasi kesulitan bicara dan berbahasa.
c. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapi untuk mengatasi hambatan motorik halus. Dilakukan dengan mengajari cara memegang pensil atau sendok dengan halus, menyuapkan makanan, dan sebagainya.
d. Terapi Fisik
Terapi fisik adalah terapi untuk mengatasi gangguan pervasive dan motorik kasar. Misalnya, dengan latihan keseimbangan.
e. Terapi Sosial
Terapi sosial adalah terapi untuk membantu penyandang autisme berkomunikasi dua arah dan memberikan fasilitas untuk berteman, sekaligus mengajari cara-caranya.
f. Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi untuk membantu anak bermain dan membangun sinergi. Biasanya, terapi berkaitan dengan teknik-teknik permainan.
g. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi untuk mengatasi frustasi, mengajak anak memahami perubahan lingkungan dan memperbaiki perilakunya.
h. Terapi Perkembangan
Merupakan terapi dengan mempelajari minat anak, mengetahui kekuatan dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan ke kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya.
i. Terapi Visual
Terapi dengan mengembangkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui gambar. Misalnya, dengan video games.
j. Terapi Biomedik
Terapi dengan berfokus pada gangguan metabolisme yang berdampak pada fungsi otak.
Tidak ada satu pun terapi yang menjamin keberhasilan mengatasi autisme. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dari orang tua untuk mempelajari terapi yang mana yang cocok untuk anak-anaknya.
C. Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia :
a. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Menurut ensiklopedi Indonesia, istilah “masyarakat” sekurang-kurangnya mengandung tiga pengertian :
a. Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara kelompok sosial lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut gemain-scaft atau masyarakat paguyuban.
b. Merupakan keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehudupan bersama. Istilah ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan.
c. Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu autonomi (relative), seperti masyarakat barat, masyarakat primitive yang merupakan kelompok suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.
2. Unsur-unsur Masyarakat
Menurut soekanto, alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut :
a. Beranggotakan minimal dua orang.
b. Anggotanya sadar sebagai kesatuan.
c. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar masyarakat.
d. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
3. Kriteria Masarakat yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat :
a. Ada sistem tindakan utama.
b. Saling setia pada sistem tindakan utama
c. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
a. Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
b. Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
c. Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
b. Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
c. Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
d. Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
e. Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah orangtua yang memiliki anak autis.
2. Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
a. Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.
C. Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
a. Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
a. Mengabdi kepada tujuan penelitian.
b. Direncanakan secara sistematik.
c. Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
d. Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002) sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a. Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b. Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c. Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a. Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua observer.
b. Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c. Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d. Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.
a. Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1. Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2. Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3. Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti.
4. Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a. Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b. General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c. Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5. Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a. Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b. Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c. Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d. Melatih observer untuk berbuat cermat.
a. Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1. Kekurangannya
a. Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b. Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c. Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d. Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e. Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2. kelebihannya
a. Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b. Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c. Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
2. Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a. Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c. Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b. Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c. Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
d. Wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.
E. Alat Bantu Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
1. Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
2. Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
3. Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
4. Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.
F. Keakuratan Penelitian
Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
1. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a. Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c. Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a. Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b. Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c. Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d. Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
3. Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20SEKOLAH/MUSTOFA%20KAMIL/pengertian%20masyarakat.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/pengertian-autisma-autisme/
http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm
http://radenbeletz.com/penyebab-autis-pada-anak.html
http://health.kompas.com/index.php/read/2011/01/11/09501535/Lima.Faktor.Penyebab.Autisme-4
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kalangan masyarakat saat ini dapat dijumpai penderita autis terutama anak-anak. Terkadang, ada masyarakat yang mencelanya namun ada juga yang sangat prihatin dengan keadaan si penderita.
Penyakit autisme ini masih belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Sehingga, mereka belum paham mengenai penanganan yang tepat bagi penderita autis.
Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata autisme masa kanak-kanak ini dapat dikoreksi. Tatalaksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, sebaiknya jangan melebihi usia lima tahun karena diatas usia ini perkembangan otak anak akan sangan melambat. Usia paling ideal adalah 2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahap paling cepat. Menurut Mudjito, autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi. Dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang khususnya terjadi pada masa kanak-kanak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Instilah autisme diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Adapun ciri-ciri pada penderita autisme yaitu terganggunya Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju, kesulitan bermain dengan teman sebaya, tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah. Itulah sebagian dari ciri-ciri autism. (anonim, 2011)
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengungkap konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran mengenai konesep diri pada orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri pada orang tua yang memiliki anak autis dalam masyarakat ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat lebih jauh mengenai konsep diri orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat, dan untuk mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep diri orang tua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memotivasi peneliti lain untuk meneliti lebih lanjut masalah tersebut. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat, khususnya bagi psikologi lingkungan dan psikologi klinis. Karena psikologi lingkungan mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya, psikologi klinis mengkaji tentang gangguan kesehatan.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pemahaman dan pembelajaran bagi penulis serta pembaca mengenai konsep diri pada orangtua yang memiliki anak autis di dalam masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Menurut Burke dan Sellin, konsep diri didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan pengajaran atau kemampuan memberikan konsultasi kepada lingkungannya.
Menurut Pudjijogyanti (1985) mengatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri (Burns dalam Mukhtar, 2003).
Dari keseluruhan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri atau gambaran seseorang mengenai dirinya dari berbagai aspek, seperti aspek fisik, sosial, dan psikologis, yang diperoleh dari interaksinya dengan orang lain dan lingkungan.
2. Unsur-unsur Konsep Diri
Menurut Wahyurini dan Mashum (2003) unsure-unsur konsep diri meliputi :
a. Penilaian diri merupakan pandangan diri kita terhadap :
1. Pengendalian keinginan dan dorongan dalam diri.
2. Suasana hati yang seang kita hayati seperti bahagia, sedih, atau cemas.
b. Penilaian sosial merupakan evaluasi terhadap bagaimana kita menerima penilaian lingkungan sosial pada diri kita.
c. Konsep lain yang terdapat dalam pengertian konsep diri adalah self image atau citra diri, yaitu merupakan gambaran :
1. Siapa saya, yaitu bagaimana kita menilai keadaan pribadi seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi kelauarga atau peran lingkungan sosial kita.
2. Saya ingin jadi apa, kita memiliki harapan-harapan dan cita-cita yang ingin dicapai yang cenderung tidak realistis.
3. Bagaimana orang lain memandang saya, pertanyaan ini menunjukkan perasaan keberartian diri kita bagi lingkungan sosial maupun bagi diri kita sendiri.
3. Konsep Diri Negatif dan Positif
Rahmat (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) menyebutkan cirri-ciri orang yang memiliki konsep diri negative menurut Brook & Emert, yaitu :
a. Peka terhadap kritik.
b. Resonsif terhadap pujian.
c. Hiperkritits terhadap orang lain.
d. Merasa tidak disenangi oleh orang lain.
e. Pesimis terhadap kompetisi.
Menurut Brook & Emmert (dalam Ritandiyono & Retnaningsih, 1996) cirri-ciri konsep diri positif adalah :
a. Yakin akan kemampuannya untuk mengatasi suatu masalah.
b. Merasa setara dengan orang lain.
c. Menerima pujian dengan tanpa rasa malu.
d. Menyadari bahwa setiap orang memilki berbagai peraaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
e. Mampu memperbaiki diri.
4. Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Hurlock (dalam Siahaan, 2005) konsep diri memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan psikologis.
a. Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari konsep individu tentang penampilannya, kesesuaian dengan jenis kelaminnya, arti penting tubuhnya dengan perilakunya dan gengsi yang diberikan tubuhnya dimata orang lain.
b. Aspek psikologis
Aspek psikologis terdiri dari konsep individu tentang kemampuan dan ketidakmampuan, harga dirinya dan hubungan dengan orang lain.
B. Autis
1. Pengertian Autis
Autisma atau Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang Autisma atau autisme seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Istilah Autisma atau autisme baru diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad lampau ( Handojo, 2003 ).
Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri (Kartono, 2000).
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa autisma atau autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan.
2. Karateristik Autis
a. Hambatan dalam Berkomunikasi :
1. Anak mengalami keterlambatan bicara.
2. Sering menggunakan kata-kata tetapi tidak tepat secara konteks dan tidak ada hubungannya dengan arti kata tersebut secara lazim.
3. Menolak berbicara, atau berbicara sangat sedikit, misalnya ya atau tidak.
4. Sering mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.
5. Menggunakan bahasa tubuh.
6. Hanya mampu berkomunikasi dalam waktu singkat.
7. Tidak menyukai stimuli pendengaran.
8. Sering melakukan gerakan aneh untuk stimulasi diri sendiri, misalnya dengan memukul-mukul kepala, dada, dan lain-lain.
b. Hambatan Sosial
1. Anak lebih suka menyendiri.
2. Bersikap dingin dan tidak memberi respon, misalnya tersenyum, tertawa, dan sebagainya.
3. Tidak menaruh perhatian pada keadaan sekitar dan lingkungannya.
4. Tidak tertarik dalam pertemanan dan relasi.
5. Tidak menyukai bermain bersama anak lain.
6. Tidak bereaksi terhadap isyarat.
7. Menolak menatap mata lawan bicaranya.
8. Bersosialisasi (berteman).
c. Hambatan Penginderaan
1. Sensitif terhadap stimuli panca indera, misalnya cahaya, suara, bau, dan rasa.
2. Sulit memproses dan memberi reaksi pada indrawi.
3. Mudah terganggu dengan situasi umum yang seharusnya normal, misalnya tangis bayi, mesin mobil, serangga, atau mesin printer.
d. Hambatan Motorik
1. Tidak bisa spontan dan refleks.
2. Tidak memiliki imajinasi dalam bermain.
3. Tidak bisa memerankan sesuatu atau terlibat dalam permainan yang bersifat pura-pura.
e. Hambatan Perilaku
1. Bisa sangat aktif atau sebaliknya.
2. Sering marah dan kesal tanpa alasan yang jelas.
3. Menaruh minat yang sangat tinggi dan obsesif terhadap suatu benda atau orang.
4. Sulit mengubah rutinitas, dan menuntut “kesamaan” dalam kebiasaan mereka.
5. Melakukan sesuatu yang diulang-ulang tanpa alasan yang jelas.
3. Penyebab Autis
Autisme memilki berbagai penyebab. Sebelumnya, akan diceritakan suatu kasus mengenai anak yang menderita autis.
Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur satu tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.
Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.
“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.
Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
Para ilmuwan menyebutkan autisme terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor genetik yang dipicu faktor lingkungan. Berikut adalah faktor-faktor yang diduga kuat mencetuskan autisme yang masih misterius ini :
a. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya autisme. Menurut National Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autisme.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama.
Secara umum para ahli mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autisme. Gen tersebut berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak berkomunikasi.
b. Pestisida
Paparan pestisida yang tinggi juga dihubungkan dengan terjadinya autisme. Beberapa riset menemukan, pestisida akan mengganggu fungsi gen di sistem saraf pusat. Menurut Dr Alice Mao, profesor psikiatri, zat kimia dalam pestisida berdampak pada mereka yang punya bakat autisme.
c. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Obat thalidomide sendiri di Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat. Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker. Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood dan bipolar disorder.
d. Usia orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
"Memang belum diketahui dengan pasti hubungan usia orangtua dengan autisme. Namun, hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen," kata Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks.
e. Perkembangan otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme. Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga dihubungkan dengan autisme.
4. Terapi Autisme
Bagaimana menangani anak penyandang autisme adalah sebuah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Hal ini disebabkan kompleksnya treatment dan terapi pendidikan yang diketengahkan oleh para peneliti dan praktisi autis. Tidak ada prosedur standar, tetapi semua sepakat bahwa terapi harus dimulai sejak dini. Dimulainya terapi menyesuaikan dengan gejala yang timbul, mengingat autisme memiliki banyak sekali variasi gejala awal. Jadi, terapi tersebut diarahkan pada hambatan yang mula-mula dikenali. Beberapa terapi yang dikenal untuk penanganan autisme saat ini adalah sebagai berikut :
a. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah terapi dengan cara memberikan hadiah atau pujian (positive reinforcement) secara terprogram kepada penyandang autisme. Terapi ini paling populer digunakan di Indonesia.
b. Terapi Wicara.
Terapi wicara adalah terapi untuk mengatasi kesulitan bicara dan berbahasa.
c. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah terapi untuk mengatasi hambatan motorik halus. Dilakukan dengan mengajari cara memegang pensil atau sendok dengan halus, menyuapkan makanan, dan sebagainya.
d. Terapi Fisik
Terapi fisik adalah terapi untuk mengatasi gangguan pervasive dan motorik kasar. Misalnya, dengan latihan keseimbangan.
e. Terapi Sosial
Terapi sosial adalah terapi untuk membantu penyandang autisme berkomunikasi dua arah dan memberikan fasilitas untuk berteman, sekaligus mengajari cara-caranya.
f. Terapi Bermain
Terapi bermain adalah terapi untuk membantu anak bermain dan membangun sinergi. Biasanya, terapi berkaitan dengan teknik-teknik permainan.
g. Terapi Perilaku
Terapi perilaku adalah terapi untuk mengatasi frustasi, mengajak anak memahami perubahan lingkungan dan memperbaiki perilakunya.
h. Terapi Perkembangan
Merupakan terapi dengan mempelajari minat anak, mengetahui kekuatan dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan ke kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya.
i. Terapi Visual
Terapi dengan mengembangkan kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui gambar. Misalnya, dengan video games.
j. Terapi Biomedik
Terapi dengan berfokus pada gangguan metabolisme yang berdampak pada fungsi otak.
Tidak ada satu pun terapi yang menjamin keberhasilan mengatasi autisme. Oleh karena itu, diperlukan kesabaran dari orang tua untuk mempelajari terapi yang mana yang cocok untuk anak-anaknya.
C. Masyarakat
1. Pengertian Masyarakat
Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia :
a. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
b. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
c. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
d. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Menurut ensiklopedi Indonesia, istilah “masyarakat” sekurang-kurangnya mengandung tiga pengertian :
a. Sama dengan gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok social berdasarkan rasional,yang diterjemahkan sebagai masyarakat patembayan dalam bahasa Indonesia. Sementara kelompok sosial lain yang masih mendasarkan pada ikatan naluri kekeluargaan disebut gemain-scaft atau masyarakat paguyuban.
b. Merupakan keseluruhan “masyarakat manusia” meliputi seluruh kehudupan bersama. Istilah ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusia yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan.
c. Menunjukan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan cirri sendiri (identitas) dan suatu autonomi (relative), seperti masyarakat barat, masyarakat primitive yang merupakan kelompok suku yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitarnya.
2. Unsur-unsur Masyarakat
Menurut soekanto, alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut :
a. Beranggotakan minimal dua orang.
b. Anggotanya sadar sebagai kesatuan.
c. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar masyarakat.
d. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
3. Kriteria Masarakat yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat :
a. Ada sistem tindakan utama.
b. Saling setia pada sistem tindakan utama
c. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
d. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu keadaan.
Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam moleong (2004) tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang – orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Teknik pengambilan data kualitatif pada dasarnya bersifat tentatif karena penggunaannya ditentukan oleh konteks permasalahaan dan gambaran data yang ingin diperoleh (Maryaeni, 2005).
Dari pendapat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatif merupakan metode penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan dan memberikan gambaran melalui pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.
Menurut Moleong (dalam Poerwandari, 2000) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe:
a. Studi kasus intrinsik
Penelitian yang dilakukan karena adanya ketertarikan dan berusaha untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.
b. Studi kasus Instumental
Penelitian yang dilakukan pada suatu kasus yang unik dan dimaksudkan untuk memahami isu dengan lebih baik, kemudian mengembangkannya dan memperhalus teori.
c. Studi kasus kolektif
Merupakan suatu perluasan dari studi kasus instrumental sehingga dapat mencakup beberapa kasus. Tujuannya dalah untuk mempelajari fenomena atau populasi atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Studi kasus ini sering disebut juga studi kasus majemuk, atau studi kasus komparatif karena menyangkut kasus majemuk dengan fokus baik di dalam tiap kasus maupun antar kasus.
Moleong (dalam Maulana, 2004) menyebutkan studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Partikularistik, studi yang memfokuskan pada hal-hal khusus, suatu program atau suatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, sebuah perusahaan, suatu kelas, kelompok maupun organisasi.
b. Naturalistik, studi kasus yang membahas tentang orang-orang sebenarnya atau situasi yang terbanyak dari proses mengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.
c. Data uraian rinci, dalam hal ini sumber studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta. Wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis, seperti jurnal dan buku harian.
d. Induktif, hampir sebagian besar dari studi kasus ini bergantung pada alasan induktif. Konsep generalisasi, hipotesis yang muncul dari penyajian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.
e. Heuristik, studi kasus membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah orangtua yang memiliki anak autis.
2. Jumlah Subjek
Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) mengemukakan bahwa untuk prosedur pengambilan dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik antara lain:
a. Diarahkan tidak ada pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus yang tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anggota Polri berusia 35 tahun, yang pernah mengikuti perang.
C. Tahap-tahap Penelitian
Adapun tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi, yaitu :
a. Tahap Persiapan Penelitian.
Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya akan berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mencapai masukan mengenai isi pedoman wawancara. Setelah mendapat masukan dari koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Peneliti bermaksud untuk mendapatkan data dan subjek yang sesuai untuk tujuan penelitian ini dengan mencari subjek sendiri maupun dengan bantuan dari orang lain. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti mempelajari informasi yang ada menyangkut latar belakang subjek, sehingga pada saat wawancara peneliti sudah mempunyai sedikit gambaran mengenai subjek.
Selanjutnya peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan hasil wawancara kedalam bentuk verbatim tertulis. Kemudian peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di atas. Setelah itu membuat diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian hasil diskusi dari kesimpulan yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi.
Observasi secara harfiah diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara teliti dan sistematis atas gejala-gejala (fenomena) yang sedang diteliti (Soeratno, 1987).
Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki (Narbuko & Achmadi, 2004).
Menurut Sukandarrumidi (2002) observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek denga sistematika fenomena yang diselidiki.
Menurut Yehoda (dalam Narbuko&Achmadi, 2004) menjelaskan bahwa pengamatan akan menjadi alat pengumpulan data yang baik apabila :
a. Mengabdi kepada tujuan penelitian.
b. Direncanakan secara sistematik.
c. Dicatat dan dihubungkan dengan proposisi-proposisi yang umum.
d. Dapat dicek dan dikontrol validitas, reliabilitas dan ketelitiannya.
Beberapa jenis observasi yang lazim digunakan untuk alat pengumpulan data menurut Sukandarrumidi (2002) sebagai berikut :
1). Observasi partisipan.
Dalam hal ini observer terlibat langsung dan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diamati. Peneliti seolah-olah merupakan bagian dari mereka. Selama peneliti terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek, ia harus tetap waspada untuk tetap mengamati kemunculan tingkah laku tertentu.
2). Observasi nonpartisipan.
Dalam hal ini peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
3). Observasi sistematik.
Peneliti telah membuat kerangka yang memuat faktor – faktor yang telah diatur terlebih dahulu.
Kendala yang dihadapi adalah:
a. Ruang lingkup yang lebiih sempit, kesempatan atau waktu sangat pendek.
b. Memerlukan observer banyak, dengan tugas khusus.
c. Mempergunakan alat pencatat mekanik (tustel, tape recorder, video camera).
4). Apabila situasi dan kondisi observer dikendalikan.
Didalam pelaksanaannya beberapa hal yang perlu dipertimbangkan :
a. Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam untuk semua observer.
b. Situasi tersebut dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan timbulnya variasi tingkah laku yang diamati oleh observer.
c. Situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observee tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari observasi.
d. Observer atau alat pencatat mengadakan aksi – reaksi, bukan hanya jumlah aksi – reaksi semata – mata.
a. Alat – alat observasi.
Menurut Narbuko & Achmadi (2004 ) pada dasarnya macam alat observasi adalah sebagai berikut :
1. Anecdotal Record.
Anecdotal Record yang juga disebut daftar riwayat kelakuan adalah catatan – catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan – kelakuan luar biasa yang dianggap penting oleh peneliti.
Dalam pelaksanaanya, pencatatan harus dilakukan secepat – cepatnya seperti apa adanya baik oleh peneliti sendiri atau orang lain yang dipercayainya.
2. Catatan Berkala.
Dalam catatan ini, peneliti tidak mencatat macam – macam kejadian khusus, melainkan hanya pada waktu – waktu tertentu saja, oleh karena itu data yag dicatat kurang lengkap dan banyak yang dilupakan oleh observer. Akibatnya hasilnya kurang dapat dipercaya.
3. Check List.
Check list yaitu daftar yang berisi nama-nama subjek dan faktor – faktor yang hendak diselidiki, yang bermaksud mensistematiskan catatan observasi, alat ini lebih memungkinkan peneliti memperoleh data yang meyakinkan dibidang lain. Sebab faktor – faktor yang akan diteliti sudah dicatat dalam daftar isian, peneliti tinggal memberikan tanda (check) pada blanko itu untuk tiap subjek yang diobservasi. Karena itu alat itu disukai para peneliti.
4. Rating Scale.
Pencatatan dengan rating scale adalah mencatat gejala menurut tingkat – tingkatnya, alat ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan subjek menurut tingkatnya. Ia merupakan kriteria dan sumber yang penting dalam penelitian.
Ada kemungkinan kelemahan yang muncul dari penggunaan alat ini yaitu terjadi :
a. Halo Effects, yaitu kesesatan jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan – kesan umum yang baik pada observees, sedang ia tidak menyelidiki kesan – kesan umum itu.
b. General Effects, yaitu kesesatan yang terjadi karena keinginan untuk berbuat baik, jadi dalam catatan ditambah atau dikurangi tidak seperti yang sebenarnya terjadi.
c. Carey Over Effects, terjadi jika pencatatan tidak dapat memisahkan satu gejala dari yang lain, dan jika gejala yang satu kelihatan baik, yang lan ikut dicatat baik.
5. Mechanical Devices
Yaitu observasi yang menggunakan alat – alat mekanik sebab lebih praktis dan efektif. Misalnya menggunakan foto.
Keuntungan penggunaan alat ini adalah :
a. Dapat diputar lagi sewaktu dibutuhkan.
b. Dapat diputar lambat – lambat sehingga yakin untuk diteliti.
c. Memberi sumbangan berharga kepada perancang penelitian.
d. Melatih observer untuk berbuat cermat.
a. Kekurangan dan kelebihan observasi
Menurut Narbuko & Achmadi ( 2004 ) Observasi memiliki kekurangan dan kelebihan yaitu sebagai berikut
1. Kekurangannya
a. Banyak kejadian – kejadian yang tidak dapat dicapai dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi seseorang yang sangat rahasia.
b. Bila observee tahu bahwa dia sedang diteliti, maka mereka akan menunjukan sikap, atau sengaja menimbulkan kesan yang lebih baik ataupun lebih jelek terhadap observer.
c. Setiap kejadian tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya, sehingga menyulitkan observer. Demikian pula untuk menunggu timbulnya reaksi yang dibuat seringkali tidak dapat secara spontan, bahkan kadang – kadang harus menunggu waktu yang panjang sekali, sehingga membosankan.
d. Sering kali tugas observasi terganggu, karena adanya peristiwa – peristiwa yang tidak diduga – duga terlebih dahulu , misalnya keadaan cuaca buruk dan lain – lain.
e. Observer serikali mengalami kesulitan di dalam mengumpulkan bahan – bahan yang diperlukan, karena kejadian – kejadian itu adakalanya berlangsung bertahun – bertahun, tetapi adakalanya sangat pendek waktu berlangsungnya kejadian itu, bahkan ada pula yang terjadi serempak dibeberapa tempat.
2. kelebihannya
a. Observasi merupakan alat yang langsung untuk meneliti bermacam – macam gejala. Banyak aspek – aspek tingkah laku manusia yang hanya dapat diamati melalui observasi langsung.
b. Bagi seseorang yang selalu sibuk, lebih tidak keberatan untuk diamat – amati, daripada mengisi jawaban – jawaban dalam kuesioner.
c. Dapat mencatat secara serempak dengan terjadinya sesuatu gejala.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan karena peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan – kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi.
2. Wawancara
Menurut Prabowo ( 1998 ) wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan.
Wawancara ( interview ) merupakan salah satu pengumpulan data dengan cara bertanya jawab langsung berhadap – hadapan dengan responden ( Soeratno, 1987 ).
Menurut Moleong ( 2004 ) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara ( interviewer ) yang mengajukan pertanyan dan yang di wawancarai ( interviwee ) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Menurut Najir ( 1983 ) wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide ( panduan wawancara ).
Sedangkan menurut Poerwandari ( 1998 ) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Patton ( dalam Moleong, 2004 ) ada bermacam – macam cara pembagian jenis wawancara, yaitu :
a. Wawancara pembicaraan informal.
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang di wawancarai. Wawancara demikian dilakukan pada latar alamiah. Hubungan pewawancara dengan yang diwawancarai adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari – hari saja. Sewaktu pembicaraan berjalan, yang diwawancarai malah tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa sedang di wawancarai.
b. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara. Penyusunan pokok – pokok itu dilakukan sebelum wawancara dilakukan. Pokok – pokok yanng dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan.
c. Wawancara baku terbuka.
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata – katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap responden. Wawancara jenis ini bermanfaat dilakukan apabila pewawancara ada beberapa orang dan yang diwawancarai cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan pembagian jenis wawancara menurut Guba & Lincoln (dalam Moleong, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Wawancara oleh Tim atau Panel.
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya oleh satu orang, tetapi oleh dua orang lebih terhadap seseorang yang diwawancarai. Jika cara ini dilakukan, hendaknya pada awalnya sudah dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari yang diwawancarai, apakah ia tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Di pihak lain, seseorang pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b. Wawancara tertutup dan terbuka.
Pada wawancara tertutup biasanya yang diwawancarai tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak terlalu sesuai dengan penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu.
c. Wawancara Riwayat secara lisan.
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang – orang yang pernah membuat sejarah atau yang telah membuat karya ilmiah, sosial, pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya, ketekunannya, pergaulannya, dan lain – lain. Wawancara semacam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga yang di wawancarai berbicara terus – menerus, sedangakan pewawancara duduk mendengarkan dengan baik diselingi dengan sekali – kali mengajukan pertanyaan.
d. Wawancara terstruktur dan wawancara tak terstruktur.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan – pertanyaan yang akan diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sejumlah sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali.
Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda dengan yag terstruktur. Cirinya kurang di interupsi dan arbiter. Wawancara semacam ini digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Hasil wawancara semacam ini menekankan kekecualian, penyimpangan, penafsiran yang tidak lazim, penafsiran kembali, pendekatan baru, pandangan ahli, atau perspektif tunggal.
Dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka dimana para subjek tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud wawancara itu serta menggunakan petunjuk umum wawancara yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.
E. Alat Bantu Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu :
1. Alat-alat tulis, seperti ; pulpen, pensil, dan kertas untuk mencatat observasi.
Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian.
2. Tape Recorder.
Alat bantu ini diguanakan untuk merekam semua pertanyaan dan jawaban yangn diberikan subjek agar dapat menghemat waktu sehingga subjek tidak bosan menunggu peneliti dalam menulis jawaban. Alat perekam ini baru digunakan setelah mendapat izin dari subjek.
3. Buku catatan observasi, berupa notes untuk mencatat hal-hal yang penting selama wawancara, selain itu untuk mencatat hasil observasi terhadap jalannya wawancara.
4. Panduan wawancara.
Panduan ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam memberikan pertanyaan. Penduan ini berisi hal – hal pokok pertanyaan yang dibuat peneliti agar apa yang ingin diketahui peneliti tidak terlewatkan.
F. Keakuratan Penelitian
Menurut Moleong ( 2004 ) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
Denzin dalam moleong ( 2004 ) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfatkan pengunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.
Pada triangulasi dengan metode, menurut Patton dalam Moleong ( 2004 ), terdapat dua strategi, yaitu : (1) pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, dan (2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
Teknik triangulasi yang ketiga ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayan data. Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data. Pada dasarnya pengamatan suatu tim penelitian dapat direalisasikan dilihat dari segi teknik ini. Cara ini ialah membandingkan hasil pekerjaan seorang analisis dengan analis lainnya.
Triangulasi dengan teori, menurut Lincoln dan Guba dalam Moleong (2004), berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.
G. Teknik Analisis Data
Menurut Patton dalam Moleong (2004) analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Tujuan analisis data adalah menemukan makna dalam informasi yang dikumpulkan. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).
1. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian kualitatif berlangsung. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya data sudah muncul ketika peneliti memutuskan kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan data yang dipilihnya. Reduksi data merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa saja yang sedang berkembang, semuanya merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan merupakan suatu bentuk analitis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat ditarik dan diverifikasi ( Miles dan Huberman, 1992 ).
Koding atau membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya (Poerwandari, 1998). Secara praktis dan efektif, langkah awal koding dapat dilakukan melalui :
a. Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan lapangannya sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar disebelah kiri dan kanan transkrip untuk membubuhkan kode-kode atau catatan-catatan tertentu diatas transkrip tersebut.
b. Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip atau catatan lapangan tersebut.
c. Peneliti memberikan nama dengan kode tertentu dan membubuhkan tanggal.
Setelah langkah awal ini dilakukan, langkah selanjutnya adalah :
a. Membaca transkrip, setelah transkrip selesai dibuat untuk mengidentifikasikan kemungkinan tema-tema yang muncul.
b. Membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan mengambil kesimpulan.
c. Selalu membawa buku catatan, komputer, atau perekam untuk mencatat pemikiran-pemikiran analitis yang secara spontan muncul.
d. Membaca kembali data dan catatan analisis secara teratur dan secara disiplin segera menuliskan tambahan-tambahan pemikiran, pertanyaan-pertanyaan, dan insight, begitu hal tersebut muncul.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adaya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan ( Miles dan Huberman, 1992 ). Setelah wawancara dilakukan, selain menulis verbatim dan melakukan pengkodean, penulis juga membuat analytical file ( catatan analitis ). Catatan analitis dapat diorganisasikan seputar beberapa wilayah topik. Pertama, catatan analitis dapat meliputi garis besar topik yang didiskusikan dalam setiap wawancara dan perubahan pada pedoman wawancara selama pelaksanaan penelitian.
Kegunaannya adalah membantu penulis mempertahankan catatan tentang permasalahan-permasalahan yang muncul selama wawancara dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang tidak termasuk dan melakukan follow up terhadap permasalahan yang diungkapkan oleh subjek. Catatan seperti ini membantu penulis untuk melakukan wawancara berikutnya. Kedua, catatan meliputi penelitian kritis dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan dan bagaimana pertanyaan ini berubah ketika data dikumpulkan. Penulis terjun kelapangan dengan pertanyaan yang bersifat umum dan sama. Seiring dengan berlangsungnya wawancara, peneliti banyak mendapatkan insight dari jawaban-jawaban subjek sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lebih kaya dan terfokus. Hal ini terutama terkait dengan keunikan life history subjek dan pola pikir mereka dalam menjawab setiap pertanyaan.
3. Penarikan kesimpulan
Sejak awal pengumpulan data, peneliti mulai mencari makna dari data yang dikumpulkan, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, alur sebab akibat yang mungkin dan proposisi. Mula-mula belum jelas, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh ( Glaser dan Strauss, dalam Miles dan Huberman, 1992 ). Kesimpulan-kesimpulan akhir mungkin tidak muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode-metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu saat melakukan analisis banding antar kasus, dan analisis kesesuaian pola (pattern matching). Analisis kesesuaian pola dilakukan dengan cara membandingkan proposisi teoritis dengan data empiris yang diperoleh dari hasil wawancara. Jika terdapat kesesuaian antara proposisi teoritis dengan data empiris maka kesesuaian tersebut akan meningkatkan validitas internal dari studi kasus yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia
http://file.upi.edu/Direktori/A%20-%20FIP/JUR.%20PEND.%20LUAR%20SEKOLAH/MUSTOFA%20KAMIL/pengertian%20masyarakat.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13/pengertian-autisma-autisme/
http://www.anneahira.com/pengertian-autis.htm
http://radenbeletz.com/penyebab-autis-pada-anak.html
http://health.kompas.com/index.php/read/2011/01/11/09501535/Lima.Faktor.Penyebab.Autisme-4
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme
Diposting oleh
Psikologi dan Teknologi Internet / Anggi Perina / 10508021
di
06.51
Tidak ada komentar:
Langganan:
Postingan (Atom)